Senja mulai merekah dalam
naungan cakrawala yang mulai menjingga. Nuansa syahadah nampak tercipta
mendamaikan jiwa, begitu lantunan merdu tilawah al qur’an bergema dalam ruang
tak berbatas. Puluhan burung-burung liar terlihat berbaris rapi menuju kaki
langit. Semua nampak bertasbih, mengumandangkan Keesaan Allah yang tak pernah terbanding
dengan apa pun.
Di balik tirai merah yang
mulai memudar warnanya, Nisa nampak tersenyum memandang jauh ke depan.
Menikmati panorama fajar yang menggugah dengan bau basah dan semilir angin pagi
yang masih tak lekang oleh waktu.
“Sudah jam berapa ini, Nis? Cepatlah bergegas!”
Terdengar suara tegas
wanita paruh baya di balik pintu kamar Nisa.
“Baik, Bunda!” Sahut Nisa
seraya beranjak dari tempatnya berdiri. Ia sambar handuk dan segera menuju ke kamar
mandi.
Nisa mengayuh sepedanya menuju
sekolah tempatnya menuntut ilmu. Jilbabnya yang besar nampak terkibas di
mainkan angin yang masih terasa sejuk menerpa kulit. Mata beningnya nampak
berkilat terkena bias mentari pagi. Jalanan yang masih nampak sepi, membuatnya
leluasa untuk menikmati pemandangan sekitar yang begitu asri.
Setelah memarkir sepedanya
di bawah teduh cemara, Nisa segera berjalan menuju mushola sekolah. Sudah
menjadi kebiasaan untuk Nisa, melaksanakan shalat duha sebelum jam pelajaran
berlangsung. Mushola sekolah masih nampak sepi, terlihat hanya serang pria yang
tengah duduk di beranda mushola seraya memandangi buku bacaannya.
Menyadari ada seseorang
yang datang mendekat di sekitarnya, pria itu segera mengalihkan pandangan dari
buku bacaannya. Kedua mata elangnya saling bertatapan dengan mata Nisa,
senyumnya mulai mengembang untuk menyapa. Nisa membalasnya, kemudian kembali
menundukan pandangannya.
Dalam sujudnya, Nisa
merangkai untaian do’a. Do’a untuk Ibundanya yang sangat ia cintai. Air mata
menetes dalam pipi merahnya, memohon kepada Sang Khalik untuk mengijabah
do’anya. Do’a-do’a kecil untuk sang Bunda, agar bisa bersama meniti jalan
menuju surgaNya.
Matahari bersinar terik
siang ini. Nisa lebih memilih untuk beristirahat sejenak di Mushola hingga
cuaca cukup teduh. Jarak dari sekolah menuju rumahnya cukup jauh, dan cukup
melelahkan jika harus mengayuh sepeda dengan cuaca yang cukup panas membakar
kulit.
Merasakan udara yang
sungguh panas, hati Nisa kembali meringis. Terlebih ketika bayang Bundanya
berkelebat dalam benaknya. Ia sungguh tak tega dengan keadaan Bundanya hingga
saat ini. Ia benar-benar ingin melihat perubahan dalam diri Bundanya. Ia ingin
melihat cahaya kemuliaan dalam sinar wajah Bundanya sebelum kematian datang
menjemputnya. Ia ingin megucapkan kata-kata cinta untuk Bundanya. Namun semua
tak kuasa ia lakukan. Keberanian tak sedikitpun muncul dalam rajut hatinya.
“Sedang apa di sini
sendiri, Ukh?”
Suara seorang pria
menyadarkan Nisa dari lamunannya. Terlihat sosok pria yang ia jumpai tadi pagi
tengah duduk tak jauh dari tempatnya beristirahat.
“Sedang menunggu sampai
cuaca teduh Akhi,” Jawab Nisa sambil tersenyum renyah.
“Iya. Udara memang sangat
panas siang ini. Bagaimana di neraka kelak? Semoga kita tak menjadi bagian dari
ahli neraka!”
“Amin!” Sahut Nisa penuh
harapan.
Nampak segurat senyum di
wajah pria itu. Tak ada kata yang terucap dari mulut mereka masing-masing.
Suasana sepi hanya terisi oleh deru kendaraan di jalan raya yang tak jauh dari
Mushola.
Tiga orang siswi berparas
cantik melewati mereka. Nampak terlihat wajah mereka yang ceria. Rambut mereka
tergerai, dengan pakaian seragam mereka yang yang dimini maliskan. Melihat
mereka, segera pria itu mengalihkan pandangannya.
“Ukhti sungguh beruntung
dengan jilbab yang Ukhti pakai.” Ujar pria itu begitu ketiga siswi tadi telah
hilang dari pandangannya.
Nisa tersenyum dengan
binar mata bahagia. Sedikit tersisip kebanggaan dalam dirinya.
“Semoga mereka cepat sadar
akan kewajibannya menutup aurat. Dan kewajiban-kewajiban lain yang di
perintahkan Allah. Terkadang begitu miris melihat tingkah-tingkah mereka.
Seorang ahli ibadah saja masih takut tidak mendapat surga-Nya kelak. Tapi
mereka seolah ringan tanpa beban,” Ucap pria itu panjang lebar. Memang tersirat
keibaan dalam raut wajahnya.
“Semoga mereka cepat
mendapat hidayah-Nya.” Jawab Nisa.
Pria itu kembali
menganggukan kepalanya, kemudian tersenyum sambil menatap jauh kedepan.
“Saya pamit pulang dulu,
Akhi. Assalamualaikum!” Ujar Nisa seraya bangkit dari tempat duduknya.
“Waalaikumsalam!” Sahut
pria itu.
Langkah Nisa terhenti,
ketika mendengar suara seseorang memanggilnya.
“Siapa nama ukhti?” Tanya
pria itu.
“Nisa. Akhi?”
“Hafiz!”
Nisa mengangguk tanda
mengerti. Dan berjalan cepat meninggalkan mushola, untuk mengambil sepedanya
yang sudah lama menunggu untuk ditunggangi.
Setelah berganti pakaian,
segera Nisa menemui Bundanya yang tengah duduk sendiri di depan layar televisi.
Nisa duduk di samping Bundanya, sambil menatap-nya dengan mata berkaca-kaca.
“Kamu ini kenapa?
Pulang-pulang langsung nempel seperti ini. Ada apa?” Tanya Bundanya.
Nisa tersenyum, hatinya
kembali bergemuruh. Ada
keinginan dalam hatinya untuk mengatakan sesuatu, tapi ia tak memiliki
keberanian untuk menyatakannya. Ada
rasa takut dalam hatinya untuk mengatakan apa yang ingin ia katakan, ia masih
terdiam.
Terdengar suara adzan
menggema dari Mushola dekat rumahnya. Hal itu seperti kekuatan yang di berikan
Allah untuk dirinya. Hatinya beretar, ketakutan itu kini bersatu dengan tekad
yang membara. Keberanian telah menyatu dalam hatinya.
“Sudah adzan, Bunda. Kita
shalat berjama’ah dengan Mas Niko ya? Allah sudah memanggil kita untuk segera
beribadah. Itu panggilan sayang Allah untuk kita, Bunda. Bunda mau ya?” Ujar
Nisa penuh harap. Jantungnya berdegup kencang menunggu jawaban dari Bundanya.
“Sudahlah. Shalat sendiri,
sana.” Ujar
Bundanya. Tatapannya kini beralih ke layar televisi kembali.
“Tapi Bunda…”
“Cepatlah! Sana shalat!”
Nisa segera bangkit dan
pergi meninggalkan Bundanya. Air mata kembali menetes dari kedua matanya. Ia
curahkan semua isi hatinya kepada Rabb-nya. Ia panjatkan do’a-do’a pada-Nya.
Mengharapkan segera hidayah untuk Bunda-nya yang ia cintai. Ia tak ingin
Bundanya berdiam diri dalam kegelapan, ia ingin melihat Bundanya berada di
jalan yang diridhoi-Nya itu sebelum dirinya tiada.
Dan hingga sampai ini,
telah terahasiakan dari Bundanya akan penyakit yang selama ini ia derita. Kanker
Otak. Sesuatu yang selalu membuat Nisa berada dalam ketakutan. Ia takut, jika
suatu saat Bundanya mengetahui penyakitnya. Ia takut tak sempat mengucap kata
cinta untuk Bundanya. Bundanya yang memiliki sikap acuh, membuat Nisa tak
berani untuk menyatakannya.
Beranjak malam, Nisa
kembali menghampiri Bundanya di dalam kamar. Ia berikan senyum manis untuk
Bundanya.
“Bunda, kita belajar ngaji
ya?” Ujar Nisa pelan.
“Bunda mengantuk!”
“Kalau begitu, kita shalat
isya dulu!” Nisa kembali mengajak Bundanya perlahan.
“Sudah dibilang. Bunda
ngantuk, Nisa!”
“Hanya tujuh menit Bunda.
Nisa yakin setelah itu, pasti Bunda juga tidak akan mengantuk lagi. Kita
sama-sama panjatkan do’a untuk kebahagiaan Ayah di akhirat sana!”
Bunda tak menyahuti ajakan
putrinya itu. Seolah tak mempedulikannya, ia memunggungi Nisa yang tengah
menanti jawaban darinya.
“Baiklah kalau memang
Bunda tak mau,”
Dengan langkah gontai Nisa
berjalan menuju kamarnya. Dipandanginya sebuah pigura di atas meja belajarnya.
Ia begitu rindu ayah. Karena pada saat-saat seperti inilah, hanya ayah lah yang
sanggup membujuk Bundanya. Perlahan, pipinya kembali dibasahi oleh air mata.
“Ya Rabb… Jika memang usia
hamba singkat, maka izinkanlah hamba-Mu ini untuk melihat perubahan dalam diri
Bunda. Berikanlah Ia hidayah-Mu Ya Allah. Karena hamba
mencintainya, hamba menyayanginya!”
Nisa bersujud dalam
tangisnya, nafasnya yang tak teratur bercampur dengan isak tangisnya.
Menjelang fajar Nisa
beranjak menemui Bundanya di dalam kamar. Dengan sedikit rasa takut, perlahan
ia buka pintu kamar Bundanya. Namun ia tak menemui seseorang pun di sana.
“Bunda!”
Nisa memanggil-manggil
Bundanya. Ia arahkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Namun yang ia cari taka
ada di sana.
Kehawatiran mulai menggelayuti hatinya. Matanya sudah mulai memerah menahan
tangis. Ia takut Bundanya pergi karena kejadian tadi malam. Ia takut Bundanya
terluka dengan ucapannya semalam.
Namun kelegaan kembali
tersisip dalam hatinya, begitu melihat bayang seorang wanita yang tengah duduk
sendiri di kursi taman. Temaram lampu taman menerangi raganya yang kian sayu.
Nisa hanya memperhatikan Bundanya dari jauh, ia takut akan membuat Bundanya
merasa terganggu.
“Sedang apa, Nis?”
Niko datang menghampiri
adiknya itu. Mencari tahu apa yang tengah di lakukan Nisa.
“Bunda sedang apa, Mas?”
Tanya Nisa penasaran.
Niko mengangkat bahunya,
“Entahlah, Mas sendiri tak tahu,”
“Mas, sampai kapan Bunda
akan terus seperti ini? Nisa ingin Bunda cepat berubah”
“Sabar, Nis. Semua ada jalan keluarnya, dan semua
akan indah pada waktunya. Kita hanya bisa berusaha untuk menyadarkannya,
selebihnya kita serahkan semua kepada Allah, Nis!”
Nisa menganggukan
kepalanya, “Mas benar!”
“Sudahlah. Sekarang cepat
siap-siap sekolah. Nanti Mas antar, kamu tak perlu menggunakan sepeda. Cuaca
sekarang sedang tak menentu!”
“Baik!” Ujar Nisa sembari
berjalan menuju kamar mandi.
Setelah selesai merapikan
jilbabnya dan membersekan buku-buku dari dalam tasnya, segera ia mencari
Bundanya untuk meminta do’a restu pagi ini. Sementara Mas Niko sudah menunggui
Nisa di atas jok motornya.
“Bunda, Nisa pamit dulu!”
Ujar Nisa pelan.
“Ya!” Jawab Bundanya yang
sama sekali tak menatap wajah putrinya itu.
Nisa masih tak beranjak
dari tempatnya, ia menatap Bundanya dengan penuh kengiluan.
“Bunda, apa Bunda marah
dengan Nisa?”
Tak terdengar jawaban dari
Bundanya. Hati Nisa semakin galau di buatnya.
“Bunda. Nisa minta maaf,
kalau memang Nisa sudah membuat Bunda kecewa!”
Bundanya masih tetapsibuk
dengan pekerjaannya, ia tak memperhatikan Nisa yang kini mulai berurai air
mata.
“Bunda, ada apa? Jawab,
Bunda!! Apa yang menyebabkan Bunda tak mau berbicara dengan Nisa? Tak lagi
memperhatikan kami, Bunda? Apa salah kami?” Suara Nisa semakin meninggi berbaur
dengan isak tangis.
Mendengar ada keributan di
dalam, Niko segera turun dari motornya dan berlari masuk ke dalam rumahnya.
Terlihat Nisa yang tengah menangis bersimpuh di kaki Bundanya. Niko segera
memapah Nisa untuk kembali berdiri.
“Sudah siang, Nis. Cepat kita ke
sekolah. Mungkin Bunda sedang ingin sendiri saat ini!” Ujar Niko seraya
menggandeng adiknya ke luar rumah.
Di jalan, Nisa tak
berhenti meneteskan air mata. Ia sungguh tak mengerti apa yang ada di pikiran
Bundanya saat ini. Semenjak kepergian ayah, Bunda benar-benar berubah. Kini
Bunda tak pernah melakukan ibadah, Bunda pun jarang mempedulikan
putra-putrinya.
Mas Niko menepi di depan
gerbang sekolah yang sudah mulai ramai oleh lalu-alang para siswa. Mas Niko
menatap adiknya itu lembut, di usapnya air mata Nisa dengan penuh sayang.
“Sudah jangan bersedih.
Mas yakin, Bunda sebenarnya tak ingin bersikap seperti itu. Mas yakin ada
sesuatu di balik semua itu. Bersabarlah!”
Nisa menyeka air matanya,
berusaha untuk kembali tegar. Ia ukirkan senyum manis di bibir tipisnya.
“Iya, Mas!” Ujar Nisa
seraya mengecup punggung tangan Niko dan berlalu pergi.
Sikap Bundanya tadi pagi,
masih begitu membekas dalam hati Nisa. Ia tidak sakit hati karenanya, tapi ia
hanya takut melukai perasaan Bundanya. Ia takut Bundanya akan seumur hidup
membencinya. Ia sungguh ingin kebersamaan seperti dulu. Begitu hangat dengan
kasih sayang, dan cinta illahi.
Di Mushola, Nisa curahkan
semua rasa yang bergelayut dalam hati. Ia tumpahkan air mata dalam tiap
sujudnya. Ia tak sanggup menahan kesedihan dalam hatinnya. Dan tangisnya
semakin bertambah, ketika darah mengalir dari hidungnya. Kepalanya semakin
terasa sakit, tubuhnya semakin lemah, dan akhirnya Nisa terjatuh.
“Ukhti!” Seru Hafiz begitu
melihat Nisa terjatuh.
Segera Hafiz memanggil
beberapa temannya untuk segera menghubungi salah seorang guru, dan menelfon
Rumah Sakit. Wajah Nisa yang begitu pucat semakin membuat teman-temannya
khawatir.
Di dalam ruangan serba
putih itu, Nisa terbaring lemah. Matanya masih terpejam, tak sadarkan diri.
Hafiz masih menungguinya dengan cemas. Mas Niko dan Bundanya tengah di hubungi
pihak Rumah Sakit, memberitahukan keadaan Nisa.
“Sesungguhnya, dia
menderita apa Dok?” Tanya Hafiz. Nada suaranya menyimpan kekhawatiran yang
mendalam.
“Kanker Otak!”
“Kanker Otak?” Hafiz tak
percaya. Ia pandangi tubuh lemah Nisa dengan penuh iba dan kasih sayang.
Mas Niko dan Bunda telah
tiba di rumah sakit. Nampak kekhawatiran yang mendalam di wajah mereka,
terlebih Bunda. Tak hentinya Bunda menitikka air mata di sepanjang jalannya.
“Nisa!!”
Bunda berlari menghampiri
pembaringan putri kecilnya itu. Ia menangis, memeluk Nisa.
“Maafkan Bunda, Nisa.
Bunda telah salah!”
Nisa tak menjawabnya, ia
hanya terdiam dengan mata yang terpejam. Hafiz yang melihat kejadian itu
menjadi ikut larut dalam kesedihan. Mas Niko hanya bisa menenagkan Bunda dengan
pelukannya.
“Nisa…bangun, sayang!”
Suara Bunda berbaur dengan isak tangis.
Jemari Nisa nampak
tergerak, matanya perlahan mulai membuka. Dengan pandangannya yang masih kabur,
ia temukan sosok Bunda di sampingnya dengan penuh air mata.
“Bunda…”
Bunda menyeka air matanya,
ia tersenyum melihat putrinya yang mulai tersadar.
“Maafkan Bunda, sayang.
Bunda telah salah menyikapi kalian. Bunda telah mengacuhkan kalian. Maafkan
Bunda, atas sikap Bunda selama ini. Kini Bunda sadar, akan semua kesalahan
Bunda.” Ujar Bunda sambil berlinang air mata.
Nisa tersenyum, perlahan
ia usap air mata Bundanya dengan penuh kebahagiaan.
“Bunda. Bunda tak perlu
meminta maaf, karena Nisa sudah memaafkan semuanya.”
“Kini Bunda sadar, bahwa
sikap Bunda sangat menyakiti kalian. Menjadikan beban di pikiran kalian. Bunda
pikir, dengan megacuhkan kalian Bunda akan sanggup melupakan bayang ayah. Tapi
ternyata tidak. Justru semakin hari, sikap kalian yang memperhatikan Bunda,
kalian yang memperingati Bunda untuk mengingat Allah, justru membuat Bunda
semakin teringat Ayah. Kini, Bunda tak ingin lagi kehilangan seseorang yang
sangat berarti seperti kamu, dan Mas Niko!”
Niko menangis di pelukkan
Bunda, begitu juga dengan Nisa. Hafiz ikut menitikkan air mata melihat kejadian
yang ada di hadapannya itu.
“Nisa tak ingin kehilangan
Bunda! Bunda harus tetap tersenyum, Bunda harus tetap bahagia!” Ujar Nisa
dengan suaranya yang melemah. “Mas Niko, jaga Bunda selalu. Jangan sakiti
Bunda!”
Nisa memandang kearah
Hafiz yang tengah duduk di sudut ruangan. “Mas Hafiz, terimakasih untuk
semuanya. Nisa juga menyayangi Mas Hafiz, seperti Nisa menyayangi kakak
sendiri…”
Pandangan Nisa mengabur.
Terdengar suara lirih dari mulutnya, menyebut Asma Allah dengan lembut, seiring
dengan matanya yang terpejam. Bunda dan Niko menangis melepas kepergian Nisa ke
pangkuan Illahi. Mereka memeluk tubuh Nisa yang tak lagi bernyawa.
Sementara Hafiz hanya bisa
menangis dalam diam, dengan tangan bergetar ia remas dadanya yang serasa sesak
menahan tangis. Perlahan ia menghampiri ranjang Nisa dan menatapnya untuk yang
terakhir kalinya. “Aku mencintaimu karena Allah” Ucap Hafiz dalam hati. Ketika
itu air mata mulai terjatuh dari kelopak matanya.
Dalam temaram lampu taman,
Bunda duduk ditemani dengan Niko. Mereka menatap jauh ke langit luas. Mereka
menatap jutaan bintang yang berpendar di angkasa kelabu. Membiarkan bayang Nisa
dan Ayah, yang menari-nari di balik pijar sang bintang.
“Telah lama Nisa simpan
hadiah ini untuk Bunda. Dan kini, saatnya Bunda untuk menerimanya”
Niko memberikan sebuah
kado berbentuk hati untuk Bundanya. Bunda membukanya perlahan. Terlihat sebuah
mukenah, musshaf dan jilbab di dalamnya. Bunda kembali menitikkan air mata, ia
tak menyangka putrinya begitu berharap akan perubahan dalam dirinya. Sepucuk surat terselip dalam
mushaf kecil, Bunda mengambilnya dan membacanya perlahan.
Bunda…
Semua ini Nisa persembahkan untuk Bunda
Sebuah kado istimewa berbingkai kasih sayang, untuk
Bunda…
Bunda…
Terkadang, tangis Nisa tercurah dalam diam…
Berbaur menjadi satu dalam keinginan yang terpendam
Harapan Nisa adalah bisa bersama dengan Bunda dan
Mas Niko
Untuk bersama meniti jalan menuju surga…
Maaf jika
Nisa terus mengganggu Bunda dengan ajakan-ajakan Nisa
Tapi Nisa lakukan itu karena satu…
Karena Nisa sayang Bunda… Karena Nisa cinta Bunda…
Bunda, Bunda, dan Bunda… adalah orang yang selalu
Nisa sayang…
Orang yang selalu Nisa cintai…
Bunda kembali menitikkan
air matanya, ia rengkuh surat
itu dalam dekapannya.
Adzan subuh mulai menggema
dalam ruang tak berbatas, bau basah akibat hujan dini hari tadi merayap masuk
melalu celah jendela yang terbuka. Bunda menghampiri Niko yang masih tertidur
dalam ranjangnya.
“Sudah subuh.. bangun
Niko!” Bunda memebelai kepala Niko dengan kasih sayang.
Niko membuka matanya,
senyum terukir di wajahya yang masih nampak kucal.
“Ayo cepat! Nanti kita
ketinggalan untuk berjama’ah!” Ujar Bunda seraya menyodorkan sarung dan peci
untuk Niko.
“Iya, Bunda. Niko ambil
air wudhu dulu!” Jawab Niko. Kini senyumnya semakin mengembang.
Setelah shalat berjama’ah,
Bunda dan Niko duduk di beranda rumah. Mereka menatap mentari yang perlahan
mulai melukiskan guratan fajar di langit yang mulai membiru.
“Bunda. Niko ingin
mengatakan ini, selagi Allah masih memberikan kesempatan Niko untuk hidup di
dunia ini. Niko ingin katakan, bahwa Niko cinta Bunda, Niko sayang Bunda, Niko
tak ingin kehilangan Bunda!”
Bunda tersenyum, menatap
putranya penuh cinta. “Bunda juga cinta Niko, Bunda sayang Niko!”
Keduanya berpelukan erat,
cahaya matahari nampak bersinar menerangi kebersamaan mereka.
“Ajari Bunda mengaji
Niko!” Ujar Bunda seraya melepas pelukannya.
Niko menggangguk pasti. Ia
ikuti langkah Bundanya dengan penuh semangat. Langkahnya sempat terhenti begitu
melihat potret Nisa di tembok rumahnya, Niko memandanginya dengan mata
berkaca-kaca.
“Terimakasih adikku,
karena kau tularkan cinta itu padaku. Kau salurkan kekuatan cinta padaku. Dan
lewat dirimu Allah berikan hidayah untuk Bunda kita. Dan karena mu keberanian
itu muncul, untuk menyatakan cinta pada Bunda. Semangat mu akan terus berkobar
dalam jiwaku! Cinta mu adalah cahaya bagi Bunda!” Batin Niko dalam hati.