Minggu, 09 September 2012

Ada Cahaya di Hatimu



Senja telah datang, dengan solekan siluetnya yang menyapu langit biru. Angin sore berhembus tenang menerpa dedaunan yang berayun di pucuk-pucuk dahan. Menimbulkan desir ritmis yang menyapa kalbu, meniupkan aroma ketenangan yang merasuk jiwa. Kursi taman yang sedikit berkarat karena terkena hujan dan panas yang tak menentu, kini menjadi tempat bersandar untukku. Tempat di mana kini aku duduk untuk merehatkan sejenak persendianku yang tengah ngilu karena seharian berkutat dengan tugas-tugas yang tak kunjung terselesaikan. Jangan mengira aku kini berada di sebuah taman indah yang tertata rapi di tengah kota, dengan sarana hotspot yang membuat para remaja sibuk dengan laptop mereka, dengan kursi taman yang megah dan tatanan kembang yang menawan menjajari setapak jalannya, atau mungkin tempat yang ramai dan heboh di kunjungi para remaja yang tengah memadu “cinta abu-abu”nya. Bukan, aku tidak berada di sana saat ini. Aku berada di sebuah tempat yang jarang terjamah mereka, tempat yang mana setiap saat aku kunjungi tak pernah aku melihat aktivitas berbaku syahwat bertebaran di tiap sudutnya. Ya, aku berada di sebuah taman kecil dekat masjid yang tak jauh dari sekolahku. Taman yang tertutup oleh ilalang dan hanya bunga liar yang tampak menghiasi rumput-rumput yang tak lagi terawat.
Peluh merembes dari pori tubuhku, menetes membasahi jilbab putih yang kini tengah kukenakan. Mataku kembali tertuju pada layar laptop yang kini tengah berada di pangkuanku, laptop yang menyimpan sejarah tentangku, yang kubeli dengan uang hasil kerjaku sebagai penulis lepas. Aku sudah menjalani ini sejak lama, tentunya semenjak keluargaku mengalami perosotan dalam konteks ekonomi. Tak pernah terpikir sebelumnya, aku mampu menuangkan kata demi kata menjadi rangkaian sederhana dalam lembaran masa. Semua berawal dari cerita hati yang mengalir begitu saja, mengenai suka dan duka dalam menyusuri lorong kehidupan yang entah kapan akan berujung.
“Duhai senja, izinkan aku untuk bersandar di kolong langitmu. Izinkan aku untuk menerka seperti apa rupamu. Aku ingin temukan keberadaanku, ingin ku temukan arahku. Jika mentari senja telah menghilang, mereka berkata: banyak permata yang menuntun kita melangkah. Namun aku tak pernah merasakan, permata yang mereka katakan menuntunku dalam kesendirian ini. Aku hanya terjatuh, dan kembali terjatuh. Bahkan aku tak pernah mengetahui kapan senja berakhir.”
Aku melihat seorang anak lelaki dengan tubuhnya yang kecil dan kurus duduk bersandar di sebuah pohon mangga yang tak lagi berbuah, tengah bersenandung dengan kata-katanya yang indah.
“Jika permata itu tak mampu menuntunmu, maka carilah yang mampu menuntunmu. Ia yang lebih dari sekadar bintang bahkan mentari. Ia yang memiliki cahaya paling terang, di antara cahaya terang yang kau dapati!” Ujar ku seraya melangkah ke arahnya, sedikit menjaga jarak.
Ia tak memandangku, ia terus memandang ke depan. Senyum kecilnya tersungging, senyum kanak-kanak yang penuh harapan.
“Aku tak pernah mendapati cahaya terang. Yang kutemukan hanyalah kegelapan.” Ujarnya, ia menatap dengan tatapan kosong.
Aku sedikit menilik wajahnya, wajah yang polos ke kanak-kanakkan. Entah mengapa bocah cilik itu pandai memainkan kata menjadi rangkaian kata indah sarat makna. Mata beningnya memandang lurus kedepan, tatapan tanpa arah dan tujuan. Aku masih terdiam.
“Kau siapa?” Tanya bocah itu. Ia masih tak memandangku, membuatku merasa tak di hargai di depannya. Tapi ada sesuatu yang menarik dari dirinya, yang membuatku enggan pergi dari tempatku. Sesuatu yang menggelitik hati, tentang ucapannya yang puitis di usianya yang mungkin jauh lebih muda dariku.
“Lia. Niki Arzalia. Kamu?”
Bocah itu terdiam, kemudian tersenyum pahit. “Pentingkah untukmu mengetahuinya?” Ujarnya dengan bahasanya yang dewasa, tak cocok dengan pawakan dan wajahnya yang kekanak-kanakkan.
“Siapa namamu? Sepertinya, usia mu jauh lebih muda dariku?”
Ia masih terdiam, tangannya memegang tongkat kayu dengan erat. Masih tak memandangku.
“Kenapa? Kau terkejut dan menganggap ku gila dengan bahasa yang ku gunakan?” Ujarnya dengan senyuman yang mengambang.
“Syairmu sungguh puitis, aku menyukainya.”
Dia tertawa kecil, “Syair? Syair kau bilang? Aku tak pernah menganggapnya sebagai syair atau puisi. Itu hanyalah ucapan gila yang terlontar dari lidah seorang cacat sepertiku.”
Aku tertegun, berusaha mencerna apa yang ia katakan.
“Aku buta. Semua orang menganggap aku bocah gila. Bocah berumur dua belas tahun dengan ucapannya yang aneh.” Ia tertawa, “Entah sampai kapan, aku bisa bertahan dengan keanehan ini. Aku tak seperti yang lain. Mungkin kau merasakannya!” Ujarnya seraya berbalik pergi. Langkahnya tertatih, tongkatnya ia gunakan untuk membantu jalannya. Aku terpaku di tempatku berdiri. Bocah yang empat tahun lebih muda dariku, dengan kata-katanya yang dewasa, cuek, dan puitis. Entah siapa Ia, aku tak mengerti.
Gerimis berderai, tetesnya membasahi dedaunan kering yang berdebu. Di balik tirai jendela kamar, aku menikmati sisa senja yang perlahan mulai menghilang, menghilang dan menampilkan berkas hitam di cakrawala. Malam akan menjelang, mungkin tanpa bintang dan rembulan. Bocah itu kembali bermain di celah pikiranku, memainkan bayang-bayang semu yang tak pernah ada kepastian. Ucapannya kembali terngiang di telingaku, “Semua orang menganggap aku bocah gila. Bocah berumur dua belas tahun dengan ucapannya yang aneh. Entah sampai kapan, aku bisa bertahan dengan keanehan ini. Aku tak seperti yang lain. Mungkin kau merasakannya!”
Ya, dia memang tak seperti yang lain. Dengan penampilan dan wajahnya yang kekanak-kanakkan, ia terlihat dewasa dengan ucapannya. Ucapannya selalu penuh teka-teki. Dan puisi itu, bahkan ia tak menganggapnya puisi. Apakah itu memang tanpa sadar ia ucap? Tanpa kesadaran ia ucapkan itu, tanpa kesadaran bahwa itulah ragam bahasanya. Bahasanya yang tak pernah sederhana. Ah, aku tak tahu!
Hari Minggu yang cerah. Sinar mentari begitu hangat, terasa lembut menusuk jiwa. Usai membantu Ummi membereskan rumah, aku berniat pergi menuju taman itu. Ingin ku dapati kesegaran dalam pikiranku, agar dengan mudah aku bisa menyelesaikan cerpenku yang masih tertunda.
Angin yang sejuk membelai jilbab merah mudaku. Aku merasakan kesejukan yang luar biasa hari ini, tentunya setelah melaksanakan shalat duha di masjid dekat taman. Perlahan mulai ku rangkai apa yang kini tengah ada dalam benakku, menuangkannya pada sebuah tulisan fiksi yang akan ku kirimkan ke sebuah majalah remaja islami.
Sudah dua setengah jam aku mengadu mata dengan monitor, menyelesaikan tulisanku hingga usai. Ku putuskan untuk berjalan ke sekeliling taman, mencari kesegaran untuk merefresh kembali otakku. Kembali mataku menangkap bayang seorang anak yang tengah duduk di balik semak. Seorang anak yang ku temui di taman kemarin sore, entah apa yang kini tengah ia lakukan. Baru sejenak aku memutuskan untuk menghampirinya, langkahku kembali terhenti begitu melihat sekumpulan bocah yang berlari menghampirinya.
“Eh! Sedang apa kau disini? Mencari uang untuk mengobati matamu yang buta itu ya?” Ujar salah satu dari mereka, yang lain tertawa.
“Mana mungkin bisa terobati? Mencari uang saja dia tidak bisa, hahaha!”
Bocah itu masih terdiam, menunduk tak menentang. Aku masih terdiam di tempat, tak mampu melangkahkan kaki ke arahnya.
“Iya, dia kan tidak bisa melihat cahaya! Semuanya gelap! Sama dengan masa depannya yang gelap! Hahahaha”
Menyakitkan, sungguh menyakitkan. Namun aku tak mengerti, mengapa aku tak mampu untuk sekedar membelanya. Bibirku seakan terkatup, tak mampu berbicara.
“Aku bisa menemukan cahaya itu! Aku bisa!” Ujar Bocah itu, suaranya sedikit meninggi.
“Mana? Cahaya seperti apa yang kau lihat Berkhayal kamu! Hahha”
Ada, cahaya yang lebih dari sekedar bintang bahkan mentari. Cahaya yang mampu menuntunku, dan ia ada di hatiku!”
Aku tertegun mendengar ucapannya. Ucapannya yang sama dengan ucapanku padanya sore itu. Aku terharu, ia masih mengingatnya, ia betul-betul mencernanya.
“Dengar teman-teman. Kata-kata gilanya muncul. Hahahaha. Menuntunmu kemana? Kau sendiri tak punya kemampuan untuk menentukan masa depanmu? Kamu ini cacat! Tidak bisa bermain bola, playstation, bahkan bekerja! Teruskan saja angan-anganmu! Dasar kau buta! Hahaha”
Bocah-bocah nakal tu berlari pergi, salah satu di antaranya mendorong anak itu hingga terjatuh. Spontan aku langsung menghampirinya. Aku melihat matanya yang bening basah, mungkin ia menahan tangis.
“Kamu tidak apa-apa?” Tanya ku sambil memperhatikan badannya, takut jika ada yang terluka.
“Kenapa kamu kembali datang? Untuk mencerca ku? Sama seperti teman-temanku yang lain?” Ujarnya. Ia menunduk.
Aku menggeleng, sebuah sikap yang tak mungkin tertangkap di matanya. “Aku kemari untuk menghiburmu.”
Ia masih terdiam, tak bersuara. Aku tak beranjak pergi, masih disana menemaninya.
“Apa yang kamu lakukan takkan mampu mengobati ke cacatanku. Aku buta, tak memiliki masa depan. Bahkan membahagiakan Abah dan Emak pun aku tak mampu! Benar kata teman-temanku, aku tak memiliki kelebihan apapun”
“Kamu pasti mampu. Kamu memiliki kelebihan yang tak mereka punyai. Kelebihan itu ada di hatimu.”
“Inikah caramu menghiburku?”
Aku menghela nafas, membiarkan angin yang berhembus membantuku untuk berbicara. “Kau tahu? Kau memiliki kelebihan yang tak kau sadari. Kelebihan yang menurutmu aneh dan gila. Tentang kemampuanmu merangkai bait-bait indah, kau bisa menjadi penulis! Penulis terkenal dengan karyanya yang  mengagumkan!”
Anak itu masih terdiam seperti memikirkan sesuatu. Aku memetik beberapa bunga liar dan memainkannya, menunggu anak itu berbicara.
“Mereka bilang itu aneh. Kata-kata gila yang tak tercerna! Mereka menganggapku rendah” Ujarnya.
“Karena mereka tak tahu, mereka tak bisa memahami. Karenanya, kamu harus membuktikan pada mereka, bahwa kamu bisa, dan kamu tidak aneh seperti yang mereka katakan! Kamu harus semangat!”
“Kenapa kamu memahamiku? Kenapa kau tak menghujatku?”
“Karena aku ingin kamu menjadi temanku, temanku yang semangat dan tak pernah mengenal lelah!”
“Teman?”
“Iya teman. Kamu mau menjadi temanku? Dan berjanji akan terus bersemangat menjalani hidup?”
Anak itu tersenyum, senyum kekanakkan yang lembut. Tak pernah aku melihatnya segembira ini.
 “Abah dan Emak memanggilku Ijal, kamu bisa memanggilku demikian” Ujarnya dan berjalan pergi. Tapi kemudian langkahnya terhenti, ia bertanya dengan suara kecilnya..
“Kalau kau temanku, tentu kau mau menunjukan apa cahaya yang sering kau sebut-sebut?”
“Dia ada di dekatmu, selalu mengawasi dan menemanimu. Dialah Tuhan-mu.”
Anak itu terdiam, menekan dadanya. Kemudian tersenyum, “Aku menemukannya!” Teriaknya lantang.
Hari demi hari, seakan terwarnai dengan kehadiran anak itu. Dengan tawanya yang jernih khas anak-anak, aku memperoleh banyak ide darinya. Setiap sore datang, aku selalu mengunjunginya di taman ataupun di rumahnya. Rumah kecil dari bilah bambu yang berdiri tak jauh dari taman. Aku senang berkunjung ke sana, sekedar untuk bercerita dengan Abah dan Emak, ataupun membantu Ijal menulis karyanya. Bahkan adiknya, Tia juga dekat denganku. Selalu mengajakku bermain, atau membantunya belajar. Mereka seolah menjadi keluarga kedua bagiku. Dan tak hanya aku, Abi dan Ummi-pun kadang berkunjung kesana. Sebuah kekerabatan yang hangat, yang tak pernah terduga sebelumnya.
“Mungkin nanti sampai selesai ujian, aku gak bisa kesini lagi. Aku harus serius belajar, karena ujian sudah dekat. Kamu belajar sendiri ya?” Ujarku pelan.
Ijal mengangguk, “Iya, aku mengerti.”
“Oh iya, kapan pengumuman lombanya?”
“Lusa.”
“Kalau begitu, besok saat aku datang kemari bawakan aku piala kemenanganmu ya? Aku tunggu!”
Ijal mengangguk dengan senyumnya yang khas, senyum ke kanak-kanakkan yang sangat lucu. Hari itu adalah hari terakhir aku berkunjung ke rumahnya. Selanjutnya aku serius dengan bimbingan belajar yang aku ikuti. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk Abi dan Umi.
Tiga hari sebelum ujian berlangsung, kepalaku mendadak sakit yang begitu hebat. Jika pusing biasa, tak akan sesakit ini. Ummi begitu khawatir melihat keadaanku, segera ia membawaku ke rumah sakit. Hasilnya sangat memilukan, sangat mengejutkan, bahkan aku tak pernah menduga sebelumnya. Ada tumor di otakku dan harus segera di angkat sebelum menjadi parah.
Aku menggeleng, “Lia mohon Ummi, Abi, tunggu sampai Lia selesai ujian!”
“Jangan Lia. Nanti akan semakin parah, Ummi dan Abi masih punya simpanan untuk operasimu!”
“Tidak Ummi. Lia yakin, akan kuat sampai nanti! Lia mohon! Ummi, Abi, percaya Lia kan?”
Ku lihat mereka menangis, aku segera memalingkan muka. Aku harus berjuang, setidaknya sampai ujian selesai. Aku tak ingin mengacaukan semuanya. Aku tak ingin mengecewakan Abi dan Ummi, Aku harus memberikan yang terbaik. Perjuanganku selama tiga tahun ini, tak boleh terbuang begitu saja. Aku sudah di terima di salah satu universitas negeri melalui PMDK, juga mendapatkan beasiswa di sana. Kini tinggal selangkah untuk membahagiakan kedua orang tuaku, aku tak mau melewatkannya. Mereka pernah berkata, ingin melihatku masuk di universitas yang mereka inginkan. Dan aku tak akan mengecewakan mereka hanya karena penyakitku ini.Tidak.
Soal-soal ujian terakhir tengah ku hadapi, ku coba untuk bergelut dengan rasa sakitku. Senyuman Ummi dan Abi melayang dibenakku, tentang Ijal yang berjanji akan menunjukan piala kemenangannya setelah ujian usai. Aku tak boleh menyerah, aku harus berjuang. Ku rasakan kepeningan yang luar biasa, pandanganku mengabur. Aku terjatuh, setelah aku berhasil menjawab nomor terakhir.
Samar ku dengar, suara Ummi dan Abi melantunkan ayat suci alqur’an. Ku coba perlahan membuka mataku. Tertangkap bayangan Abi dan Ummi bersimpuh membaca Al-Qur’an. Sosok wanita yang ku kenal duduk di sebelahku, tak salah ia Amah Niar. Mata mereka sembab, aku tak mengerti. Ku rasakan, selang infuse menancap di tanganku, ada selang oksigen yang membantu pernafasanku. Ku coba untuk mengeluarkan sepatah kata, ku ingin menyapa mereka.
“Ummi…Abi…Amah!”
Ku lihat Amah Niar sedikit terkejut, ada raut kegembiraan begitu melihatku. Begitu juga dengan Abi dan Ummi, mereka langsung merangkulku.
“Alhamdulillah, Lia telah sadar?”
Ada apa ini, Ummi?”
“Lia masih ingat, Lia jatuh pingsan setelah mengerjakan soal ujian terakhir?”
Aku mencoba mengingatnya, bayangan itu kini hadir di benakku. Aku mengangguk.
“Setelah itu Lia dibawa di rumah sakit. Setelah di operasi Lia mengalami koma berkepanjangan!”
“Seberapa lama Ummi?’
“Satu bulan. Awalnya dokter menyerah, karena tak sanggup lagi.  Ummi hampir saja putus asa, kalau Abi-mu ini tidak menabahkan Ummi. Ummi terus berdo’a akan kesembuhanmu. Dan sekarang, Ummi begitu bahagia bisa bersamamu lagi!” Ujar Ummi sambil menangis. Mataku memerah.
Seminggu setelah itu, aku keluar dari rumah sakit. Aku, Ummi, dan Abi untuk sementara tinggal di Semarang, di rumah Amah Niar. Pengobatanku yang mahal membuat Abi menjual rumah, dan kini Abi tengah bekerja sebagai pelatih inkai di salah satu universitas tempat Ami Ario-suami Amah Niar- bekerja sebagai dosen. Sedangkan Ummi, bersama Amah Niar membangun bisnis catering dan sebuah butik. Aku bangga dengan mereka, mampu setabah itu menghadapi ujian yang datang. Dan aku, aku lulus dengan nilai yang baik, dan kini aku akan segera berkuliah dengan beasiswa yang aku dapat. Hingga nanti aku lulus dan bekerja, serta Abi dan Ummi memiliki uang untuk kembali ke Tegal dan membangun rumah kembali, mungkin kami akan tetap disini. Namun ada satu yang mengganjal pikiranku, tentang Ijal, entah seperti apa keadaannya kini aku tak mengerti. Aku merasa berasalah padanya karena telah mengingkari janjiku untuk bertemu dengannya usai ujian sekolah. Ah Ijal.. maafkan aku!
Delapan tahun sudah aku berada di Semarang. Aku telah lulus sebagai lulusan terbaik, dan kini aku tengah bekerja sebagai asisten manager di salah satu majalah islami terkenal. Rencananya lusa, aku beserta Ummi dan Abi akan pulang ke Tegal. Aku akan melepas jabatanku itu. Dan kembali ke Tegal untuk membuka sebuah tempat pelatihan  kepenulisan di sana.
Sebelumnya, aku pergi ke toko buku. Aku ingin membelikan buku untuk Ijal sebagai permintaan maafku. Meski aku tahu mungkin Ijal tak mampu membacanya, tapi Ijal memiliki adik yang sangat pintar, dan Tia pasti bisa membacakan buku itu untuknya. Mataku terpaku pada sebuah buku berwarna kuning cerah, berjudul “Ada Cahaya di Hatimu”, karya Muhammad Rizal Adhi Pratama.
“Lia! Sudah hampir pukul dua belas! Cepat, nanti kita ketinggalan kereta!” Ummi mengingatkan.
Tanpa ku baca lebih dalam tentang buku itu, segera ku meminta pelayan toko untuk membungkusnya rapi. Kemudian segera ku berlari menyusul Ummi dan Abi. Kami pulang dengan kereta. Perasaanku tak karuan, tak sabar untuk bertemu Ijal. Bocah kecil yang mungkin sekarang tak kecil lagi. Aku akan meminta maaf padanya.
Langit senja berwarna kemerah-merahan, dedaunan kering di tapak jalan menuju rumah Ijal berterbangan tertiup angin. Rumah bambu kecil dengan pohon mangga di depannya, aku masih ingat betul. Segera aku mengetuk pintu rumahnya, namun tak ada jawaban. Seorang Ibu tua di rumah sebelah ke luar menghampiriku.
“Mereka sudah pindah, entah kemana!” Ujarnya dengan suara parau.
Aku hanya bisa terpaku. Kemana Ijal? Bahkan aku belum sempat mengucap maaf, ia telah pergi. Ada selaksa kerinduan yang terbersit di hatiku. Ku putuskan untuk datang ke taman tempatku betemu Ijal. Aku ingin mengenang masa-masa remajaku, bersama bocah kecil sok puitis disana. Ah Ijal, dimana engkau sekarang?
Taman itu masih sama seperti dulu, dengan rumputnya yang liar dan kursi taman berkarat yang ada di tengahnya. Aku duduk disana, menggenggam kado kecilku untuk Ijal dengan pilu. Sesaat mataku tertuju pada botol kaca di samping kursi, berpita pink yang sudah luntur terkena hujan dan panas. Aku meraihnya, ada sebuah kertas di dalamnya. Aku membacanya…
Kamu begitu jahat meninggalkanku begitu saja…Kamu berjanji untuk menemuiku usai ujian sekolah? Tapi kau tak kunjung datang…Kau tau? Pada hari itu aku menunggumu… hujan dan panas tak ku hiraukan. Pada hari itu aku membawakan piala besar untuk kau lihat. Aku memenangkannya Lia!! Tapi kau tak kunjung menyapa ku…Setiap hari, aku selalu kemari… berharap aku bisa mendengar celotehanmu itu,namun nihil…Dan setiap hari pula disini aku dijahili anak-anak nakal itu… tapi kau tak datang untuk membelaku kembali… Ah... mungkinkah kamu melupakan aku? Seorang buta yang tengah belajar untuk menemukan cahaya di hidupku…Ya sudalah… bukankah kau katakan dulu, kalau seorang ikhwan tak boleh cengeng? Aku akan belajar itu Lia…Tulisan ini, Tia yang menulis…Dia sering merengek-rengek minta bertemu denganmu…Begitu juga dengan Abah dan Emak, mereka rindu padamu. Lalu aku? Sudahlah, tak perlu di bahas… kerinduanku padamu tak akan bernilai, karena aku-pun takkan pernah mendengar suaramu lagi, dan mungkin kau takkan pernah merindukaku. Tapi satu yang harus kau tau, aku akan slalu mendoakanmu di setiap sujudku. (Ijal, Tia, Emak, dan Abah)
Air mata membasahi pipiku, aku telah membuat anak itu khawatir… bahkan mungkin mengecewakannya. Rasa bersalahku tertumpah begitu saja disana, aku tak sanggup menahan air mataku. Dari dulu aku memang bukanlah akhwat tangguh yang mampu memendam luka dan tangis dalam hati… Dan kini, entah kapan aku bisa bertemu dengan bocah itu lagi.
“Kenapa menangis?”
Suara seorang pria menyapa telingaku. Segera ku hapus air mataku. Seorang pria tinggi kekar dengan dadanya yang bidang, wajahnya teduh, matanya bening. Pria yang memiliki jenggot tipis di dagunya, ia yang berkacamata, aku tak mengenalnya.
“Apa ini?” Pria itu mengambil paksa kado yang tengah aku pegang. Kado untuk Ijal yang mungkin takkan pernah tersampaikan.
“Jangan. Itu untuk temanku!” Sebisa mungkin aku merebutnya. Namun ia jauh lebih tinggi dari ku. Aku tak mampu meraihnya. Perlahan ia membuka kado itu, kemudian tersenyum.
“Siapa kamu? Tak sopan caramu seperti itu. Bahkan aku tak mengenalmu!”
Pria itu menyerahkan novel itu padaku, “Perhatikan isinya, maka kau akan mengenalku!” Ujarnya seraya berbalik pergi.
Aku membuka novel best seller itu dengan penasaran, ada sebuah tulisan yang mencengangkan, aku baca di sana.
Novel ini terinspirasi, dari seorang wanita yang tak pernah ku raba wajahnya. Wanita yang mengajarkanku untuk mencari cahaya di hatiku hingga aku menemukannya. Wanita yang membuatku tersadar akan potensi yang aku miliki. Dan wanita yang tanpa sadar, telah membuatku melihat dunia luas! Karena karya-karya yang telah ku terbitkan dan mereka mengetahui keadaan fisik ku, aku telah menerima donor mata, dan kini aku bisa melihat. Melihat gambaran indah yang Allah ciptakan. (Kau tau nama panjangku? Ya, Muhammad Rizal Adhi Pratama.)
Segera ku berlari menghampiri pria itu. Bukan, bukan pria. Tapi bocah itu, bocah nakal yang sok dewasa. Aku ingin meminta kejelasan darinya. Ya, Ijal.. Dialah Ijal. Ia tengah berdiri di samping mobil hitamnya. Ia yang tengah tersenyum, memandang lurus ke depan.
“Ijal?” Sapaku lembut.
“Ku kira kau takkan kembali kesini, dan melupakan semuanya!”
Aku terdiam, mengumpulkan keberanian untuk bicara, “ Maafkan aku, bukan maksudku untuk meninggalkanmu begitu saja, tapi…”
“Sudahlah, aku mengerti bahwa bocah sepertiku dulu memang tiada-lah penting bagimu. Tapi terimakasih, karenamu aku mampu menemukan cahaya itu!” Ujarnya seraya membuka pintu mobilnya. Aku tak bisa membiarkannya pergi begitu saja, pergi dengan membawa dugaan buruk tentangku. Aku tak mau. Segera aku menahan pintu mobilnya. Mengungkapkan semuanya.
“Kau tahu? Tiga hari menjelang ujian aku sakit. Aku sakit parah. Ada tumor ada otakku. Saat itu aku menolak untuk dioperasi. Aku mencoba bertahan selama ujian berlangsung. Saat hari terakhir, sakitku semakin menjadi. Namun aku teringat janjiku untuk bertemu denganmu, itu yang membuatku semangat untuk tetap bertahan. Dan saat terakhir, saat semua soal telah ku kerjakan, aku tak sadarkan diri. Ummi bercerita, aku koma selama satu bulan! Rumah dijual untuk membiayai perawatanku di Semarang. Setelah sembuh aku tinggal di rumah Amah Niar dan…”
“Baru sekarang kau bisa kemari?” Lanjutnya.
Aku menangis, “Aku mencarimu, dan setelah mengetahui kau tiada, aku….”
“Cukup Lia.. cukup… Maafkan aku telah berburuk sangka padamu!” Ujarnya lembut. Aku makin tersedu. “Sudahlah jangan menangis, kau terlihat jelek jika begitu!”
“Mengapa kau mengenaliku? Dan mengapa kau masih menungguku?” Ujarku dengan suara sedikt meninggi karena kesal padanya.
“Sejak dulu, aku mengenali suaramu, mengenali getaran itu. Entah apa itu aku tak tahu. Aku masih menunggumu, karena di hatiku yang terdalam aku tahu… bahwa kaulah wanita yang tercipta dari sebagian ruh dan tulang rusukku. Aku masih menunggumu, untuk mengucap Ana ukhibuki fillah ya ukhti… Maukah kau menyempurnakan sebagian dien-Nya dengan ku? Sudikah kamu menerimaku sebagai imam mu, untuk selamanya?”
Saat itu, aku merasakan sesak di dadaku. Bukan karena sakit, tapi karena bahagia. Seperti itukah Allah mempertemukan ku dengan jodoh ku? Mempertemukan ku dengan cara-Nya… cara-Nya yang indah dan tak pernah terduga. Langit senja mulai menghitam, ada selaksa kebahagiaan dalam hatiku saat ini. Aku duduk di dalam mobil Rizal, tentu bersama Abah, Emak, dan Tia. Rupanya mereka ada di dalam mobil saat aku berada di taman senja tadi. Dan akan melamarku secara resmi di depan Abi dan Ummi. Aku akan beristikharah, untuk memantapkan keyakinanku. Dan lagi…. Aku melihat dua orang remaja di sudut jalan, tengah memadu “cinta abu-abu”- nya dengan berangkulan mesra. Ah, andai mereka tau, bahwa bukan seperti itu cara mendapatkan kekasih hati.
Dan seandainya mereka tahu dan mau mencari… bahwa ada cahaya di hatinya, yang akan membimbingnya menuju kebahagiaan sejati. Kebahagiaan dari Sang Pemilik Cinta Abadi… Allah Ya Rabbul Izzaty. Begitulah kata-kata yang tertulis di akhir cerita ADA CAHAYA di HATIMU.                      




(TRIFANY ARLITA_XI IA 1)




0 komentar:

Posting Komentar

My Blog List

Friendship

Friendship
Sahabat tak obahnya atmosfher Yang melindungi semua makhluk di bumi Dengan meredam sebuah energi besar Menjadi sumber dari segala kehidupan

anime

anime
anime anne gan
Spinning Kunai - Naruto

Pages

noviana savitri. Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

About Me

Foto Saya
Novie alexander
ini saya apa adanya :D
View my complete profile