Senja telah datang, dengan solekan siluetnya yang menyapu langit biru.
Angin sore berhembus tenang menerpa dedaunan yang berayun di pucuk-pucuk dahan.
Menimbulkan desir ritmis yang menyapa kalbu, meniupkan aroma ketenangan yang
merasuk jiwa. Kursi taman yang sedikit berkarat karena terkena hujan dan panas
yang tak menentu, kini menjadi tempat bersandar untukku. Tempat di mana kini
aku duduk untuk merehatkan sejenak persendianku yang tengah ngilu karena
seharian berkutat dengan tugas-tugas yang tak kunjung terselesaikan. Jangan
mengira aku kini berada di sebuah taman indah yang tertata rapi di tengah kota,
dengan sarana hotspot yang membuat para remaja sibuk dengan laptop mereka,
dengan kursi taman yang megah dan tatanan kembang yang menawan menjajari
setapak jalannya, atau mungkin tempat yang ramai dan heboh di kunjungi para
remaja yang tengah memadu “cinta abu-abu”nya. Bukan, aku tidak berada di sana saat ini. Aku berada
di sebuah tempat yang jarang terjamah mereka, tempat yang mana setiap saat aku
kunjungi tak pernah aku melihat aktivitas berbaku syahwat bertebaran di tiap
sudutnya. Ya, aku berada di sebuah taman kecil dekat masjid yang tak jauh dari
sekolahku. Taman yang tertutup oleh ilalang
dan hanya bunga liar yang tampak menghiasi rumput-rumput yang tak lagi terawat.
Peluh merembes dari pori
tubuhku, menetes membasahi jilbab putih yang kini tengah kukenakan. Mataku
kembali tertuju pada layar laptop yang kini tengah berada di pangkuanku, laptop
yang menyimpan sejarah tentangku, yang kubeli dengan uang hasil kerjaku sebagai
penulis lepas. Aku sudah menjalani ini sejak lama, tentunya semenjak keluargaku
mengalami perosotan dalam konteks ekonomi. Tak pernah terpikir sebelumnya, aku
mampu menuangkan kata demi kata menjadi rangkaian sederhana dalam lembaran
masa. Semua berawal dari cerita hati yang mengalir begitu saja, mengenai suka
dan duka dalam menyusuri lorong kehidupan yang entah kapan akan berujung.
“Duhai senja, izinkan aku untuk bersandar di kolong langitmu. Izinkan aku
untuk menerka seperti apa rupamu. Aku ingin temukan keberadaanku, ingin ku
temukan arahku. Jika mentari senja telah menghilang, mereka berkata: banyak
permata yang menuntun kita melangkah. Namun aku tak pernah merasakan, permata
yang mereka katakan menuntunku dalam kesendirian ini. Aku hanya terjatuh, dan
kembali terjatuh. Bahkan aku tak pernah mengetahui kapan senja berakhir.”
Aku melihat seorang anak lelaki dengan tubuhnya yang kecil dan kurus
duduk bersandar di sebuah pohon mangga yang tak lagi berbuah, tengah bersenandung
dengan kata-katanya yang indah.
“Jika permata itu tak mampu menuntunmu, maka carilah yang mampu
menuntunmu. Ia yang lebih dari sekadar bintang bahkan mentari. Ia yang memiliki
cahaya paling terang, di antara cahaya terang yang kau dapati!” Ujar ku seraya
melangkah ke arahnya, sedikit menjaga jarak.
Ia tak memandangku, ia terus memandang ke depan. Senyum kecilnya
tersungging, senyum kanak-kanak yang penuh harapan.
“Aku tak pernah mendapati cahaya terang. Yang kutemukan hanyalah
kegelapan.” Ujarnya, ia menatap dengan tatapan kosong.
Aku sedikit menilik wajahnya, wajah yang polos ke kanak-kanakkan. Entah
mengapa bocah cilik itu pandai memainkan kata menjadi rangkaian kata indah
sarat makna. Mata beningnya memandang lurus kedepan, tatapan tanpa arah dan
tujuan. Aku masih terdiam.
“Kau siapa?” Tanya bocah itu. Ia masih tak memandangku, membuatku merasa
tak di hargai di depannya. Tapi ada sesuatu yang menarik dari dirinya, yang
membuatku enggan pergi dari tempatku. Sesuatu yang menggelitik hati, tentang ucapannya
yang puitis di usianya yang mungkin jauh lebih muda dariku.
“Lia. Niki Arzalia. Kamu?”
Bocah itu terdiam, kemudian tersenyum pahit. “Pentingkah untukmu
mengetahuinya?” Ujarnya dengan bahasanya yang dewasa, tak cocok dengan pawakan
dan wajahnya yang kekanak-kanakkan.
“Siapa namamu? Sepertinya, usia mu jauh lebih muda dariku?”
Ia masih terdiam, tangannya memegang tongkat kayu dengan erat. Masih tak
memandangku.
“Kenapa? Kau terkejut dan menganggap ku gila dengan bahasa yang ku
gunakan?” Ujarnya dengan senyuman yang mengambang.
“Syairmu sungguh puitis, aku menyukainya.”
Dia tertawa kecil, “Syair? Syair kau bilang? Aku tak pernah menganggapnya
sebagai syair atau puisi. Itu hanyalah ucapan gila yang terlontar dari lidah
seorang cacat sepertiku.”
Aku tertegun, berusaha mencerna apa yang ia katakan.
“Aku buta. Semua orang menganggap aku bocah gila. Bocah berumur dua belas
tahun dengan ucapannya yang aneh.” Ia tertawa, “Entah sampai kapan, aku bisa
bertahan dengan keanehan ini. Aku tak seperti yang lain. Mungkin kau
merasakannya!” Ujarnya seraya berbalik pergi. Langkahnya tertatih, tongkatnya
ia gunakan untuk membantu jalannya. Aku terpaku di tempatku berdiri. Bocah yang
empat tahun lebih muda dariku, dengan kata-katanya yang dewasa, cuek, dan
puitis. Entah siapa Ia, aku tak mengerti.
Gerimis berderai, tetesnya membasahi dedaunan kering yang berdebu. Di
balik tirai jendela kamar, aku menikmati sisa senja yang perlahan mulai
menghilang, menghilang dan menampilkan berkas hitam di cakrawala. Malam akan
menjelang, mungkin tanpa bintang dan rembulan. Bocah itu kembali bermain di
celah pikiranku, memainkan bayang-bayang semu yang tak pernah ada kepastian.
Ucapannya kembali terngiang di telingaku, “Semua orang menganggap aku bocah
gila. Bocah berumur dua belas tahun dengan ucapannya yang aneh. Entah sampai
kapan, aku bisa bertahan dengan keanehan ini. Aku tak seperti yang lain.
Mungkin kau merasakannya!”
Ya, dia memang tak seperti yang lain. Dengan penampilan dan wajahnya yang
kekanak-kanakkan, ia terlihat dewasa dengan ucapannya. Ucapannya selalu penuh
teka-teki. Dan puisi itu, bahkan ia tak menganggapnya puisi. Apakah itu memang
tanpa sadar ia ucap? Tanpa kesadaran ia ucapkan itu, tanpa kesadaran bahwa
itulah ragam bahasanya. Bahasanya yang tak pernah sederhana. Ah, aku tak tahu!
Hari Minggu yang cerah. Sinar mentari begitu hangat, terasa lembut
menusuk jiwa. Usai membantu Ummi membereskan rumah, aku berniat pergi menuju
taman itu. Ingin ku dapati kesegaran dalam pikiranku, agar dengan mudah aku
bisa menyelesaikan cerpenku yang masih tertunda.
Angin yang sejuk membelai jilbab merah mudaku. Aku merasakan kesejukan
yang luar biasa hari ini, tentunya setelah melaksanakan shalat duha di masjid
dekat taman. Perlahan mulai ku rangkai apa yang kini tengah ada dalam benakku,
menuangkannya pada sebuah tulisan fiksi yang akan ku kirimkan ke sebuah majalah
remaja islami.
Sudah dua setengah jam aku mengadu mata dengan monitor, menyelesaikan
tulisanku hingga usai. Ku putuskan untuk berjalan ke sekeliling taman, mencari
kesegaran untuk merefresh kembali otakku. Kembali mataku menangkap bayang
seorang anak yang tengah duduk di balik semak. Seorang anak yang ku temui di
taman kemarin sore, entah apa yang kini tengah ia lakukan. Baru sejenak aku
memutuskan untuk menghampirinya, langkahku kembali terhenti begitu melihat
sekumpulan bocah yang berlari menghampirinya.
“Eh! Sedang apa kau disini? Mencari uang untuk mengobati matamu yang buta
itu ya?” Ujar salah satu dari mereka, yang lain tertawa.
“Mana mungkin bisa terobati? Mencari uang saja dia tidak bisa, hahaha!”
Bocah itu masih terdiam, menunduk tak menentang. Aku masih terdiam di
tempat, tak mampu melangkahkan kaki ke arahnya.
“Iya, dia kan
tidak bisa melihat cahaya! Semuanya gelap! Sama dengan masa depannya yang
gelap! Hahahaha”
Menyakitkan, sungguh menyakitkan. Namun aku tak mengerti, mengapa aku tak
mampu untuk sekedar membelanya. Bibirku seakan terkatup, tak mampu berbicara.
“Aku bisa menemukan cahaya itu! Aku bisa!” Ujar Bocah itu, suaranya
sedikit meninggi.
“Mana? Cahaya seperti apa yang kau lihat Berkhayal kamu! Hahha”
“Ada , cahaya
yang lebih dari sekedar bintang bahkan mentari. Cahaya yang mampu menuntunku,
dan ia ada di hatiku!”
Aku tertegun mendengar ucapannya. Ucapannya yang sama dengan ucapanku
padanya sore itu. Aku terharu, ia masih mengingatnya, ia betul-betul
mencernanya.
“Dengar teman-teman. Kata-kata gilanya muncul. Hahahaha. Menuntunmu
kemana? Kau sendiri tak punya kemampuan untuk menentukan masa depanmu? Kamu ini
cacat! Tidak bisa bermain bola, playstation, bahkan bekerja! Teruskan saja
angan-anganmu! Dasar kau buta! Hahaha”
Bocah-bocah nakal tu berlari pergi, salah satu di antaranya mendorong
anak itu hingga terjatuh. Spontan aku langsung menghampirinya. Aku melihat
matanya yang bening basah, mungkin ia menahan tangis.
“Kamu tidak apa-apa?” Tanya ku sambil memperhatikan badannya, takut jika
ada yang terluka.
“Kenapa kamu kembali datang? Untuk mencerca ku? Sama seperti
teman-temanku yang lain?” Ujarnya. Ia menunduk.
Aku menggeleng, sebuah sikap yang tak mungkin tertangkap di matanya. “Aku
kemari untuk menghiburmu.”
Ia masih terdiam, tak bersuara. Aku tak beranjak pergi, masih disana
menemaninya.
“Apa yang kamu lakukan takkan mampu mengobati ke cacatanku. Aku buta, tak
memiliki masa depan. Bahkan membahagiakan Abah dan Emak pun aku tak mampu!
Benar kata teman-temanku, aku tak memiliki kelebihan apapun”
“Kamu pasti mampu. Kamu memiliki kelebihan yang tak mereka punyai.
Kelebihan itu ada di hatimu.”
“Inikah caramu menghiburku?”
Aku menghela nafas, membiarkan angin yang berhembus membantuku untuk
berbicara. “Kau tahu? Kau memiliki kelebihan yang tak kau sadari. Kelebihan
yang menurutmu aneh dan gila. Tentang kemampuanmu merangkai bait-bait indah,
kau bisa menjadi penulis! Penulis terkenal dengan karyanya yang mengagumkan!”
Anak itu masih terdiam seperti memikirkan sesuatu. Aku memetik beberapa
bunga liar dan memainkannya, menunggu anak itu berbicara.
“Mereka bilang itu aneh. Kata-kata gila yang tak tercerna! Mereka
menganggapku rendah” Ujarnya.
“Karena mereka tak tahu, mereka tak bisa memahami. Karenanya, kamu harus
membuktikan pada mereka, bahwa kamu bisa, dan kamu tidak aneh seperti yang
mereka katakan! Kamu harus semangat!”
“Kenapa kamu memahamiku? Kenapa kau tak menghujatku?”
“Karena aku ingin kamu menjadi temanku, temanku yang semangat dan tak
pernah mengenal lelah!”
“Teman?”
“Iya teman. Kamu mau menjadi temanku? Dan berjanji akan terus bersemangat
menjalani hidup?”
Anak itu tersenyum, senyum kekanakkan yang lembut. Tak pernah aku
melihatnya segembira ini.
“Abah dan Emak memanggilku Ijal,
kamu bisa memanggilku demikian” Ujarnya dan berjalan pergi. Tapi kemudian
langkahnya terhenti, ia bertanya dengan suara kecilnya..
“Kalau kau temanku, tentu kau mau menunjukan apa cahaya yang sering kau
sebut-sebut?”
“Dia ada di dekatmu, selalu mengawasi dan menemanimu. Dialah Tuhan-mu.”
Anak itu terdiam, menekan dadanya. Kemudian tersenyum, “Aku
menemukannya!” Teriaknya lantang.
Hari demi hari, seakan terwarnai dengan kehadiran anak itu. Dengan
tawanya yang jernih khas anak-anak, aku memperoleh banyak ide darinya. Setiap
sore datang, aku selalu mengunjunginya di taman ataupun di rumahnya. Rumah
kecil dari bilah bambu yang berdiri tak jauh dari taman. Aku senang berkunjung
ke sana , sekedar
untuk bercerita dengan Abah dan Emak, ataupun membantu Ijal menulis karyanya.
Bahkan adiknya, Tia juga dekat denganku. Selalu mengajakku bermain, atau
membantunya belajar. Mereka seolah menjadi keluarga kedua bagiku. Dan tak hanya
aku, Abi dan Ummi-pun kadang berkunjung kesana. Sebuah kekerabatan yang hangat,
yang tak pernah terduga sebelumnya.
“Mungkin nanti sampai selesai ujian, aku gak bisa kesini lagi. Aku harus
serius belajar, karena ujian sudah dekat. Kamu belajar sendiri ya?” Ujarku
pelan.
Ijal mengangguk, “Iya, aku mengerti.”
“Oh iya, kapan pengumuman lombanya?”
“Lusa.”
“Kalau begitu, besok saat aku datang kemari bawakan aku piala
kemenanganmu ya? Aku tunggu!”
Ijal mengangguk dengan senyumnya yang khas, senyum ke kanak-kanakkan yang
sangat lucu. Hari itu adalah hari terakhir aku berkunjung ke rumahnya. Selanjutnya
aku serius dengan bimbingan belajar yang aku ikuti. Aku ingin memberikan yang
terbaik untuk Abi dan Umi.
Tiga hari sebelum ujian berlangsung, kepalaku mendadak sakit yang begitu
hebat. Jika pusing biasa, tak akan sesakit ini. Ummi begitu khawatir melihat
keadaanku, segera ia membawaku ke rumah sakit. Hasilnya sangat memilukan,
sangat mengejutkan, bahkan aku tak pernah menduga sebelumnya. Ada tumor di otakku dan harus segera di
angkat sebelum menjadi parah.
Aku menggeleng, “Lia mohon Ummi, Abi, tunggu sampai Lia selesai ujian!”
“Jangan Lia. Nanti akan semakin parah, Ummi dan Abi masih punya simpanan
untuk operasimu!”
“Tidak Ummi. Lia yakin, akan kuat sampai nanti! Lia mohon! Ummi, Abi,
percaya Lia kan ?”
Ku lihat mereka menangis, aku segera memalingkan muka. Aku harus
berjuang, setidaknya sampai ujian selesai. Aku tak ingin mengacaukan semuanya.
Aku tak ingin mengecewakan Abi dan Ummi, Aku harus memberikan yang terbaik.
Perjuanganku selama tiga tahun ini, tak boleh terbuang begitu saja. Aku sudah
di terima di salah satu universitas negeri melalui PMDK, juga mendapatkan
beasiswa di sana .
Kini tinggal selangkah untuk membahagiakan kedua orang tuaku, aku tak mau
melewatkannya. Mereka pernah berkata, ingin melihatku masuk di universitas yang
mereka inginkan. Dan aku tak akan mengecewakan mereka hanya karena penyakitku
ini.Tidak.
Soal-soal ujian terakhir tengah ku hadapi, ku coba untuk bergelut dengan
rasa sakitku. Senyuman Ummi dan Abi melayang dibenakku, tentang Ijal yang
berjanji akan menunjukan piala kemenangannya setelah ujian usai. Aku tak boleh
menyerah, aku harus berjuang. Ku rasakan kepeningan yang luar biasa,
pandanganku mengabur. Aku terjatuh, setelah aku berhasil menjawab nomor
terakhir.
“Ummi…Abi…Amah!”
Ku lihat Amah Niar sedikit terkejut, ada raut kegembiraan begitu
melihatku. Begitu juga dengan Abi dan Ummi, mereka langsung merangkulku.
“Alhamdulillah, Lia telah sadar?”
“Ada apa
ini, Ummi?”
“Lia masih ingat, Lia jatuh pingsan setelah mengerjakan soal ujian
terakhir?”
Aku mencoba mengingatnya, bayangan itu kini hadir di benakku. Aku
mengangguk.
“Setelah itu Lia dibawa di rumah sakit. Setelah di operasi Lia mengalami
koma berkepanjangan!”
“Seberapa lama Ummi?’
“Satu bulan. Awalnya dokter menyerah, karena tak sanggup lagi. Ummi hampir saja putus asa, kalau Abi-mu ini
tidak menabahkan Ummi. Ummi terus berdo’a akan kesembuhanmu. Dan sekarang, Ummi
begitu bahagia bisa bersamamu lagi!” Ujar Ummi sambil menangis. Mataku memerah.
Seminggu setelah itu, aku keluar dari rumah sakit. Aku, Ummi, dan Abi
untuk sementara tinggal di Semarang ,
di rumah Amah Niar. Pengobatanku yang mahal membuat Abi menjual rumah, dan kini
Abi tengah bekerja sebagai pelatih inkai di salah satu universitas tempat Ami
Ario-suami Amah Niar- bekerja sebagai dosen. Sedangkan Ummi, bersama Amah Niar
membangun bisnis catering dan sebuah butik. Aku bangga dengan mereka, mampu
setabah itu menghadapi ujian yang datang. Dan aku, aku lulus dengan nilai yang
baik, dan kini aku akan segera berkuliah dengan beasiswa yang aku dapat. Hingga
nanti aku lulus dan bekerja, serta Abi dan Ummi memiliki uang untuk kembali ke
Tegal dan membangun rumah kembali, mungkin kami akan tetap disini. Namun ada
satu yang mengganjal pikiranku, tentang Ijal, entah seperti apa keadaannya kini
aku tak mengerti. Aku merasa berasalah padanya karena telah mengingkari janjiku
untuk bertemu dengannya usai ujian sekolah. Ah Ijal.. maafkan aku!
Delapan tahun sudah aku berada di Semarang .
Aku telah lulus sebagai lulusan terbaik, dan kini aku tengah bekerja sebagai
asisten manager di salah satu majalah islami terkenal. Rencananya lusa, aku
beserta Ummi dan Abi akan pulang ke Tegal. Aku akan melepas jabatanku itu. Dan
kembali ke Tegal untuk membuka sebuah tempat pelatihan kepenulisan di sana .
Sebelumnya, aku pergi ke toko buku. Aku ingin membelikan buku untuk Ijal
sebagai permintaan maafku. Meski aku tahu mungkin Ijal tak mampu membacanya,
tapi Ijal memiliki adik yang sangat pintar, dan Tia pasti bisa membacakan buku
itu untuknya. Mataku terpaku pada sebuah buku berwarna kuning cerah, berjudul
“Ada Cahaya di Hatimu”, karya Muhammad Rizal Adhi Pratama.
“Lia! Sudah hampir pukul dua belas! Cepat, nanti kita ketinggalan
kereta!” Ummi mengingatkan.
Tanpa ku baca lebih dalam tentang buku itu, segera ku meminta pelayan
toko untuk membungkusnya rapi. Kemudian segera ku berlari menyusul Ummi dan
Abi. Kami pulang dengan kereta. Perasaanku tak karuan, tak sabar untuk bertemu
Ijal. Bocah kecil yang mungkin sekarang tak kecil lagi. Aku akan meminta maaf
padanya.
Langit senja berwarna kemerah-merahan, dedaunan kering di tapak jalan
menuju rumah Ijal berterbangan tertiup angin. Rumah bambu kecil dengan pohon mangga
di depannya, aku masih ingat betul. Segera aku mengetuk pintu rumahnya, namun
tak ada jawaban. Seorang Ibu tua di rumah sebelah ke luar menghampiriku.
“Mereka sudah pindah, entah kemana!” Ujarnya dengan suara parau.
Aku hanya bisa terpaku. Kemana Ijal? Bahkan aku belum sempat mengucap
maaf, ia telah pergi. Ada
selaksa kerinduan yang terbersit di hatiku. Ku putuskan untuk datang ke taman
tempatku betemu Ijal. Aku ingin mengenang masa-masa remajaku, bersama bocah
kecil sok puitis disana. Ah Ijal, dimana engkau sekarang?
Kamu begitu jahat meninggalkanku
begitu saja…Kamu berjanji untuk menemuiku usai ujian sekolah? Tapi kau tak
kunjung datang…Kau tau? Pada hari itu aku menunggumu… hujan dan panas tak ku
hiraukan. Pada hari itu aku membawakan piala besar untuk kau lihat. Aku memenangkannya
Lia!! Tapi kau tak kunjung menyapa ku…Setiap hari, aku selalu kemari… berharap
aku bisa mendengar celotehanmu itu,namun nihil…Dan setiap hari pula disini aku
dijahili anak-anak nakal itu… tapi kau tak datang untuk membelaku kembali…
Ah... mungkinkah kamu melupakan aku? Seorang buta yang tengah belajar untuk
menemukan cahaya di hidupku…Ya sudalah… bukankah kau katakan dulu, kalau
seorang ikhwan tak boleh cengeng? Aku akan belajar itu Lia…Tulisan ini, Tia
yang menulis…Dia sering merengek-rengek minta bertemu denganmu…Begitu juga
dengan Abah dan Emak, mereka rindu padamu. Lalu aku? Sudahlah, tak perlu di bahas…
kerinduanku padamu tak akan bernilai, karena aku-pun takkan pernah mendengar
suaramu lagi, dan mungkin kau takkan pernah merindukaku. Tapi satu yang harus
kau tau, aku akan slalu mendoakanmu di setiap sujudku. (Ijal, Tia, Emak, dan
Abah)
Air mata membasahi pipiku, aku telah membuat anak itu khawatir… bahkan
mungkin mengecewakannya. Rasa bersalahku tertumpah begitu saja disana, aku tak
sanggup menahan air mataku. Dari dulu aku memang bukanlah akhwat tangguh yang
mampu memendam luka dan tangis dalam hati… Dan kini, entah kapan aku bisa
bertemu dengan bocah itu lagi.
“Kenapa menangis?”
Suara seorang pria menyapa telingaku. Segera ku hapus air mataku. Seorang
pria tinggi kekar dengan dadanya yang bidang, wajahnya teduh, matanya bening.
Pria yang memiliki jenggot tipis di dagunya, ia yang berkacamata, aku tak
mengenalnya.
“Apa ini?” Pria itu mengambil paksa kado yang tengah aku pegang. Kado
untuk Ijal yang mungkin takkan pernah tersampaikan.
“Jangan. Itu untuk temanku!” Sebisa mungkin aku merebutnya. Namun ia jauh
lebih tinggi dari ku. Aku tak mampu meraihnya. Perlahan ia membuka kado itu,
kemudian tersenyum.
“Siapa kamu? Tak sopan caramu seperti itu. Bahkan aku tak mengenalmu!”
Pria itu menyerahkan novel itu padaku, “Perhatikan isinya, maka kau akan
mengenalku!” Ujarnya seraya berbalik pergi.
Aku membuka novel best seller itu dengan penasaran, ada sebuah tulisan
yang mencengangkan, aku baca di sana .
Novel ini terinspirasi, dari
seorang wanita yang tak pernah ku raba wajahnya. Wanita yang mengajarkanku
untuk mencari cahaya di hatiku hingga aku menemukannya. Wanita yang membuatku
tersadar akan potensi yang aku miliki. Dan wanita yang tanpa sadar, telah
membuatku melihat dunia luas! Karena karya-karya yang telah ku terbitkan dan
mereka mengetahui keadaan fisik ku, aku telah menerima donor mata, dan kini aku
bisa melihat. Melihat gambaran indah yang Allah ciptakan. (Kau tau nama
panjangku? Ya, Muhammad Rizal Adhi Pratama.)
Segera ku berlari menghampiri pria itu. Bukan, bukan pria. Tapi bocah
itu, bocah nakal yang sok dewasa. Aku ingin meminta kejelasan darinya. Ya,
Ijal.. Dialah Ijal. Ia tengah berdiri di samping mobil hitamnya. Ia yang tengah
tersenyum, memandang lurus ke depan.
“Ijal?” Sapaku lembut.
“Ku kira kau takkan kembali kesini, dan melupakan semuanya!”
Aku terdiam, mengumpulkan keberanian untuk bicara, “ Maafkan aku, bukan
maksudku untuk meninggalkanmu begitu saja, tapi…”
“Sudahlah, aku mengerti bahwa bocah sepertiku dulu memang tiada-lah
penting bagimu. Tapi terimakasih, karenamu aku mampu menemukan cahaya itu!”
Ujarnya seraya membuka pintu mobilnya. Aku tak bisa membiarkannya pergi begitu
saja, pergi dengan membawa dugaan buruk tentangku. Aku tak mau. Segera aku
menahan pintu mobilnya. Mengungkapkan semuanya.
“Kau tahu? Tiga hari menjelang ujian aku sakit. Aku sakit parah. Ada tumor ada otakku. Saat
itu aku menolak untuk dioperasi. Aku mencoba bertahan selama ujian berlangsung.
Saat hari terakhir, sakitku semakin menjadi. Namun aku teringat janjiku untuk
bertemu denganmu, itu yang membuatku semangat untuk tetap bertahan. Dan saat
terakhir, saat semua soal telah ku kerjakan, aku tak sadarkan diri. Ummi
bercerita, aku koma selama satu bulan! Rumah dijual untuk membiayai perawatanku
di Semarang .
Setelah sembuh aku tinggal di rumah Amah Niar dan…”
“Baru sekarang kau bisa kemari?” Lanjutnya.
Aku menangis, “Aku mencarimu, dan setelah mengetahui kau tiada, aku….”
“Cukup Lia.. cukup… Maafkan aku telah berburuk sangka padamu!” Ujarnya
lembut. Aku makin tersedu. “Sudahlah jangan menangis, kau terlihat jelek jika
begitu!”
“Mengapa kau mengenaliku? Dan mengapa kau masih menungguku?” Ujarku
dengan suara sedikt meninggi karena kesal padanya.
“Sejak dulu, aku mengenali suaramu, mengenali getaran itu. Entah apa itu
aku tak tahu. Aku masih menunggumu, karena di hatiku yang terdalam aku tahu…
bahwa kaulah wanita yang tercipta dari sebagian ruh dan tulang rusukku. Aku
masih menunggumu, untuk mengucap Ana ukhibuki fillah ya ukhti… Maukah kau
menyempurnakan sebagian dien-Nya dengan ku? Sudikah kamu menerimaku sebagai
imam mu, untuk selamanya?”
Saat itu, aku merasakan sesak di dadaku. Bukan karena sakit, tapi karena
bahagia. Seperti itukah Allah mempertemukan ku dengan jodoh ku? Mempertemukan
ku dengan cara-Nya… cara-Nya yang indah dan tak pernah terduga. Langit senja
mulai menghitam, ada selaksa kebahagiaan dalam hatiku saat ini. Aku duduk di
dalam mobil Rizal, tentu bersama Abah, Emak, dan Tia. Rupanya mereka ada di
dalam mobil saat aku berada di taman senja tadi. Dan akan melamarku secara
resmi di depan Abi dan Ummi. Aku akan beristikharah, untuk memantapkan
keyakinanku. Dan lagi…. Aku melihat dua orang remaja di sudut jalan, tengah
memadu “cinta abu-abu”- nya dengan berangkulan mesra. Ah, andai mereka tau,
bahwa bukan seperti itu cara mendapatkan kekasih hati.
Dan seandainya mereka tahu dan mau mencari… bahwa ada cahaya di hatinya, yang akan membimbingnya menuju kebahagiaan
sejati. Kebahagiaan dari Sang Pemilik Cinta Abadi… Allah Ya Rabbul Izzaty. Begitulah
kata-kata yang tertulis di akhir cerita ADA
CAHAYA di HATIMU.
(TRIFANY
ARLITA_XI IA 1)
0 komentar:
Posting Komentar