Senin, 10 September 2012

Cerita Pahit


Suatu hari, ada seorang gadis yang baru beranjak ke sekolah lanjutan, yaitu SMA. Angin pagi mengantarkan aku kesebuah gerbang Sekolah Menengah Atas, dengan tingkah yang polos. Dia menuju ke sekolah itu dengan tergesa-gesa karena terlambat, lalu ada salah seorang gadis menghampirinya, dan dia menggandeng tanganku padahal aku tak mengenalnya dan aku pun tersenyum padanya, kemudian kami berjalan bersama menuju lapangan, dimana terdapat pembagian regu, akupun terpisah dengan gadis itu, aku belum sempat bertanya siapa namanya, tanpa piker panjang, akupun langsung menghampiri teman-teman sekolah asalku, saat kakak kelas sedang membacakan pembagian kelas, mataku tertuju pada salah satu kakak kelas yang duduk di koridor kelas, namun dalam hatiku “tak usah berpikir macam-macam”. Teman-temanku heboh dengan ambisius mereka masing-masing. Mereka saling berbincang tentang kakak kelas* tadi, dan salah satunya yang kulihat tadi, teman-temanku memuji mereka, namun aku hanya tersenyum dan menghela nafas, dalam hatiku “aku hanya akan mengaguminya, memilikinya itu mustahil bagi anak ingusan sepertiku” aku terkenal pendiam, dikelas barupun aku dicap sebagai anak yang tak banyak bicara, atau istilah sadisnya PLONGA PLONGO. Tapi dalam diamku sebenarnya fikiranku terus saja memikirkan sesuatu, entah apa itu.
                Hari berganti , saat sekolahku mengadakan acara perkemahan, saat malam hari aku mengikuti sebuah kegiatan, dan lagi-lagi aku melihatnya, melihat orang itu -__- , materi yang sudah kupersiapkan matang pun , seketika pudar karena tatapannya .. apa yang sebenarnya terjadi?
Hingga hari-hari kulewati disekolah itu, aku hanya seorang anak pendiam yang ingin banyak tau, tak heran aku sering diledek teman-temanku, saat waktuku senggang aku sering membuka jejaring social, banyak kawanku yang berusaha mendekati mereka, kakak kelas. Aku sempat tergiur, namun sebaiknya kubuang jauh-jauh perasaan itu, dan suatu hari, tak sengaja aku mengeADD seseorang, aku sempat tertawa karena nama akunnya unik, tak beberapa menit dia langsung menerima permintaan pertemananku, setelah kulihat avatarnya, ternyata itu dia, dia yang kulihat, hmmm namun aku sudah berusaha membuang perasaan itu, beberapa bulan kemudian, karena iseng, aku panggil namanya yang unik itu lewat inbox, dalam hati “mau dibales mau enggak, masa bodoh” setelah lama tak mambuka jejaring social, kemudian aku mambuka melalui PC, ternyata dia membalas inboxku. Aku gelagepan, dan kubalas dengan pertanyaan-pertanyaan gak penting, karena awalnya aku hanya iseng, tapi lama-kelamaan jadi sering inbox”an, hingga akhirnya rasa itu muncul lagi. Yasudahlah, aku minta saja nomernya,, tapi tak semudah itu untuk memintanya, perlu cukup mental -__-
                Dan tak kusangka, kami semakin dekat, tak kusangka pula, kami akhirnya jadian. Awalya berjalan mulus, dan saling mengerti. Namun beberapa bulan berjalan, aku rasa tak seindah pertamanya, sering terjadi gonjang-ganjing, hingga pada bulan itu, terjadi perselisihan yang cukup besar, aku hanya anak kecil yang belum begitu paham cinta, dan mungkin egoku masih labil, hingga sering membuatnya kesal  -__-
Namun setelah gonjang-ganjing itu, semuanya berjalan mulus kembali, dan akupun semakin sayang padanya akupun tak iingin dia pergi, kurang lebih 5 bulan terlewati. namun tak diharapkan , muncul kembali masalah.Sudah kucoba untuk menahannya dan belajar untuk dewasa, namun apalah arti dari mental anak kecil yang baru beranjak dewasa, :’( akhirnya aku membicarakannya, dan mungkin tak ada pengertian dan maaf lagi. Aku terlalu berambisius, aku bingung harus bertindak apa. Tak beberapa lama kemudian, dia berkata “kita bersahabat saja ya :’)” aku kaget, namun dengan keberatan aku berkata menyetujui, aku piker dia hanya bercanda, setelah aku meminta kepastian, ternyata dia memang benar berkata seperti itu. Awalnya aku biasa saja, saat akan berangkat sekolah, baru terasa kalau dia bukan milikku lagi, tak terasa air mata mengalir begitu derasnya, hingga sahabatku berusaha menenangkanku kalau masalahku bukanlah kiamat, ternyata hari itu kelasku ulangan, aku lupa belum belajar .
Karena perasaanku yang tak karuan, aku sama sekali tak belajar. Bagaikan nekat akan berperang tanpa persiapan apapun, apalagi aku duduk dibangku paling depan, entah apa yang kurasa, omongan teman-temankupun tak kudengarkan, aku tetap nekat mambuat contekan, pada saat ulangan, awalnya semua berjalan lancer, namun karena mejaku terus saja bergoyang, akhirnya guru maple itu menghampiriku, dan mengambil kertas contekanku, tetapi ekspresiku datar sekali, dan hanya menatap guru itu dengan tatapan kosong, tak kudengarkan guru itu mencaci aku dengan pedasnya, namun aku hanya menatapnya dengan tatapan kosong, hingga saat dibacakan hasil nilai, aku juga salah membacakan nilai temanku, kemudian aku dicaci lagi oleh guru itu, dan salah satu temanku. Disitu aku baru sadar, biasanya kalau aku mengalami kejadian konyol, sepulang sekolah selalu kuceritakan padanya, namun aku sadar kita tak bersama lagi, air mataku mengalir dan aku menangis layaknya seorang bayi yang minta digendong ibunya, aku menangis sekencang mungkin didepan guru itu, didepan teman-teman sekelasku. Dan kini gentian mereka yang tertegun melihatku, aku begitu hampa dan rapuh, kemudian guru itu terlihat seperti orang yang ketakutan melihatku menangis, guru itu adalah guru GEOGRAFI, haha konyol memang kejadian itu.  Dia berusaha menenangkanku sambil bertanya-tanya mengapa aku menagis, sambil meledek temanku untuk ikut menenangkanku :D hahaha ada lucunya sih
Hujan turun sangat deras , saat istirahat teman-temanku ingin mengetahui mengapa aku begitu suram dan menjadi tak becus dalam urusan mencontek, akupun menceritakan semuanya kepada mereka, air mata terus jatuh dan hujan pun semakin deras. Dan mereka semua memaklumiku, mereka berusaha menghilangkan kehampaan yang kurasakan.
                Saat pulang, aku berpapasan dengannya, dia sudah bukan milikku lagi, dia tersenyum padaku, kubalasnya namun saat dia semakin jauh, air mataku jatuh lagi. Terus seperti ini sampai 1 minggu, hingga kurasa air mataku sudah kering, aku hanya ingin menyendiri, tak ingin berbicara dengan siapapun, sahabatku selalu menemaniku saat aku akan memejamkan mata, dan memberikan motivasi. Dan akhirnya banyak yeng member motivasi padaku, 2 bulan aku berusaha melupakannya, namun selalu saja memori itu terlintas kembali,
Hingga pada saat ini, bulan ini agustus 2012, aku kembali jatuh, aku berusaha untuk move on. Dan didepan teman-temanku aku berkata aku sudah MOVE ON, padahal itu hanya sebatas kata, aku tak mau jadi orang munafik, aku memang masih mencintainya, masih sayang, masih ada seklumit rasa cemburu. Namun apakah ia juga sama? Sepertinya tidak :’(
Sahabatku berkata,
“dia bukan segalanya bagimu, perpisahan mengajarkanmu arti mengikhlaskan sesuatu yang memang bukan untukmu, mungkin ini yang terbaik untukmu . perpisahan bukan berarti kiamat, tetapi perpisahan juga berarti berhenti saling menyakiti“
Kata sahabatku lagi dengan berusaha membencinya dan melupakan segala tentangnya, kita bisa lupa dengannya, sudah kucoba, namun dia semakin pekat dalam ingatanku..
Selalu mencul dalam mimpiku, kadang memang aku merindukannya, dan menjadi ingat kepadanya, dia selalu saja muncul dalam mimpiku, cukup senag melihatnya walau hanya dalam mimpi, :’) kasihan sekali aku :’). Kucoba untuk menyukai orang lain, namun hanya kehampaan yang kurasa, aku tetap tak bisa melupakannya. aku tak bisa, aku ingin memngungkapkannya padanya, namun aku sadar aku ini bukan siapa-siapa , :’(
Hingga saat ini aku belum bisa melupakannya, mungkin dia sebaliknya, sudah dapat melupakanku :’(
Aku merasa tak ada lagi yang mendengarkan ceritaku, MAAFKAN AKU L
Tapi aku akan berusaha melupakanmu kok..

Gadis itu sekarang berusaha melupakannya, dengan mengisi hari-harinya dengan sahabat-sahabat tercintanya, namun manusiawi jika dia galau lagi.
Apakah gadis itu mampu bertahan kalau orang yang dia sayang mempunyai penggantinya? Semoga saja iya J

Dulu lagu Faforitnya Roullete-Aku jatuh cinta
Tapi sekarang Robin Hood-Cerita Pahit
Maaf nih kalo agak CURCOL .. haha :p jangan jadi GALAUERS lagi yak,, SEMANGAT JJJ

Read More ->>

CAHAYA CINTA UNTUK BUNDA


Senja mulai merekah dalam naungan cakrawala yang mulai menjingga. Nuansa syahadah nampak tercipta mendamaikan jiwa, begitu lantunan merdu tilawah al qur’an bergema dalam ruang tak berbatas. Puluhan burung-burung liar terlihat berbaris rapi menuju kaki langit. Semua nampak bertasbih, mengumandangkan Keesaan Allah yang tak pernah terbanding dengan apa pun.
Di balik tirai merah yang mulai memudar warnanya, Nisa nampak tersenyum memandang jauh ke depan. Menikmati panorama fajar yang menggugah dengan bau basah dan semilir angin pagi yang masih tak lekang oleh waktu.
“Sudah jam berapa ini, Nis? Cepatlah bergegas!”
Terdengar suara tegas wanita paruh baya di balik pintu kamar Nisa.
“Baik, Bunda!” Sahut Nisa seraya beranjak dari tempatnya berdiri. Ia sambar handuk dan segera menuju ke kamar mandi.
Nisa mengayuh sepedanya menuju sekolah tempatnya menuntut ilmu. Jilbabnya yang besar nampak terkibas di mainkan angin yang masih terasa sejuk menerpa kulit. Mata beningnya nampak berkilat terkena bias mentari pagi. Jalanan yang masih nampak sepi, membuatnya leluasa untuk menikmati pemandangan sekitar yang begitu asri.
Setelah memarkir sepedanya di bawah teduh cemara, Nisa segera berjalan menuju mushola sekolah. Sudah menjadi kebiasaan untuk Nisa, melaksanakan shalat duha sebelum jam pelajaran berlangsung. Mushola sekolah masih nampak sepi, terlihat hanya serang pria yang tengah duduk di beranda mushola seraya memandangi buku bacaannya.
Menyadari ada seseorang yang datang mendekat di sekitarnya, pria itu segera mengalihkan pandangan dari buku bacaannya. Kedua mata elangnya saling bertatapan dengan mata Nisa, senyumnya mulai mengembang untuk menyapa. Nisa membalasnya, kemudian kembali menundukan pandangannya.
Dalam sujudnya, Nisa merangkai untaian do’a. Do’a untuk Ibundanya yang sangat ia cintai. Air mata menetes dalam pipi merahnya, memohon kepada Sang Khalik untuk mengijabah do’anya. Do’a-do’a kecil untuk sang Bunda, agar bisa bersama meniti jalan menuju surgaNya.
Matahari bersinar terik siang ini. Nisa lebih memilih untuk beristirahat sejenak di Mushola hingga cuaca cukup teduh. Jarak dari sekolah menuju rumahnya cukup jauh, dan cukup melelahkan jika harus mengayuh sepeda dengan cuaca yang cukup panas membakar kulit.
Merasakan udara yang sungguh panas, hati Nisa kembali meringis. Terlebih ketika bayang Bundanya berkelebat dalam benaknya. Ia sungguh tak tega dengan keadaan Bundanya hingga saat ini. Ia benar-benar ingin melihat perubahan dalam diri Bundanya. Ia ingin melihat cahaya kemuliaan dalam sinar wajah Bundanya sebelum kematian datang menjemputnya. Ia ingin megucapkan kata-kata cinta untuk Bundanya. Namun semua tak kuasa ia lakukan. Keberanian tak sedikitpun muncul dalam rajut hatinya.
“Sedang apa di sini sendiri, Ukh?”
Suara seorang pria menyadarkan Nisa dari lamunannya. Terlihat sosok pria yang ia jumpai tadi pagi tengah duduk tak jauh dari tempatnya beristirahat.
“Sedang menunggu sampai cuaca teduh Akhi,” Jawab Nisa sambil tersenyum renyah.
“Iya. Udara memang sangat panas siang ini. Bagaimana di neraka kelak? Semoga kita tak menjadi bagian dari ahli neraka!”
“Amin!” Sahut Nisa penuh harapan.
Nampak segurat senyum di wajah pria itu. Tak ada kata yang terucap dari mulut mereka masing-masing. Suasana sepi hanya terisi oleh deru kendaraan di jalan raya yang tak jauh dari Mushola.
Tiga orang siswi berparas cantik melewati mereka. Nampak terlihat wajah mereka yang ceria. Rambut mereka tergerai, dengan pakaian seragam mereka yang yang dimini maliskan. Melihat mereka, segera pria itu mengalihkan pandangannya.
“Ukhti sungguh beruntung dengan jilbab yang Ukhti pakai.” Ujar pria itu begitu ketiga siswi tadi telah hilang dari pandangannya.
Nisa tersenyum dengan binar mata bahagia. Sedikit tersisip kebanggaan dalam dirinya.
“Semoga mereka cepat sadar akan kewajibannya menutup aurat. Dan kewajiban-kewajiban lain yang di perintahkan Allah. Terkadang begitu miris melihat tingkah-tingkah mereka. Seorang ahli ibadah saja masih takut tidak mendapat surga-Nya kelak. Tapi mereka seolah ringan tanpa beban,” Ucap pria itu panjang lebar. Memang tersirat keibaan dalam raut wajahnya.
“Semoga mereka cepat mendapat hidayah-Nya.” Jawab Nisa.
Pria itu kembali menganggukan kepalanya, kemudian tersenyum sambil menatap jauh kedepan.
“Saya pamit pulang dulu, Akhi. Assalamualaikum!” Ujar Nisa seraya bangkit dari tempat duduknya.
“Waalaikumsalam!” Sahut pria itu.
Langkah Nisa terhenti, ketika mendengar suara seseorang memanggilnya.
“Siapa nama ukhti?” Tanya pria itu.
“Nisa. Akhi?”
“Hafiz!”
Nisa mengangguk tanda mengerti. Dan berjalan cepat meninggalkan mushola, untuk mengambil sepedanya yang sudah lama menunggu untuk ditunggangi.
Setelah berganti pakaian, segera Nisa menemui Bundanya yang tengah duduk sendiri di depan layar televisi. Nisa duduk di samping Bundanya, sambil menatap-nya dengan mata berkaca-kaca.
“Kamu ini kenapa? Pulang-pulang langsung nempel seperti ini. Ada apa?” Tanya Bundanya.
Nisa tersenyum, hatinya kembali bergemuruh. Ada keinginan dalam hatinya untuk mengatakan sesuatu, tapi ia tak memiliki keberanian untuk menyatakannya. Ada rasa takut dalam hatinya untuk mengatakan apa yang ingin ia katakan, ia masih terdiam.
Terdengar suara adzan menggema dari Mushola dekat rumahnya. Hal itu seperti kekuatan yang di berikan Allah untuk dirinya. Hatinya beretar, ketakutan itu kini bersatu dengan tekad yang membara. Keberanian telah menyatu dalam hatinya.
“Sudah adzan, Bunda. Kita shalat berjama’ah dengan Mas Niko ya? Allah sudah memanggil kita untuk segera beribadah. Itu panggilan sayang Allah untuk kita, Bunda. Bunda mau ya?” Ujar Nisa penuh harap. Jantungnya berdegup kencang menunggu jawaban dari Bundanya.
“Sudahlah. Shalat sendiri, sana.” Ujar Bundanya. Tatapannya kini beralih ke layar televisi kembali.
“Tapi Bunda…”
“Cepatlah! Sana shalat!”
Nisa segera bangkit dan pergi meninggalkan Bundanya. Air mata kembali menetes dari kedua matanya. Ia curahkan semua isi hatinya kepada Rabb-nya. Ia panjatkan do’a-do’a pada-Nya. Mengharapkan segera hidayah untuk Bunda-nya yang ia cintai. Ia tak ingin Bundanya berdiam diri dalam kegelapan, ia ingin melihat Bundanya berada di jalan yang diridhoi-Nya itu sebelum dirinya tiada.
Dan hingga sampai ini, telah terahasiakan dari Bundanya akan penyakit yang selama ini ia derita. Kanker Otak. Sesuatu yang selalu membuat Nisa berada dalam ketakutan. Ia takut, jika suatu saat Bundanya mengetahui penyakitnya. Ia takut tak sempat mengucap kata cinta untuk Bundanya. Bundanya yang memiliki sikap acuh, membuat Nisa tak berani untuk menyatakannya.
Beranjak malam, Nisa kembali menghampiri Bundanya di dalam kamar. Ia berikan senyum manis untuk Bundanya.
“Bunda, kita belajar ngaji ya?” Ujar Nisa pelan.
“Bunda mengantuk!”
“Kalau begitu, kita shalat isya dulu!” Nisa kembali mengajak Bundanya perlahan.
“Sudah dibilang. Bunda ngantuk, Nisa!”
“Hanya tujuh menit Bunda. Nisa yakin setelah itu, pasti Bunda juga tidak akan mengantuk lagi. Kita sama-sama panjatkan do’a untuk kebahagiaan Ayah di akhirat sana!”
Bunda tak menyahuti ajakan putrinya itu. Seolah tak mempedulikannya, ia memunggungi Nisa yang tengah menanti jawaban darinya.
“Baiklah kalau memang Bunda tak mau,”
Dengan langkah gontai Nisa berjalan menuju kamarnya. Dipandanginya sebuah pigura di atas meja belajarnya. Ia begitu rindu ayah. Karena pada saat-saat seperti inilah, hanya ayah lah yang sanggup membujuk Bundanya. Perlahan, pipinya kembali dibasahi oleh air mata.
“Ya Rabb… Jika memang usia hamba singkat, maka izinkanlah hamba-Mu ini untuk melihat perubahan dalam diri Bunda. Berikanlah Ia hidayah-Mu Ya Allah. Karena hamba mencintainya, hamba menyayanginya!”
Nisa bersujud dalam tangisnya, nafasnya yang tak teratur bercampur dengan isak tangisnya.
Menjelang fajar Nisa beranjak menemui Bundanya di dalam kamar. Dengan sedikit rasa takut, perlahan ia buka pintu kamar Bundanya. Namun ia tak menemui seseorang pun di sana.
“Bunda!”
Nisa memanggil-manggil Bundanya. Ia arahkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Namun yang ia cari taka ada di sana. Kehawatiran mulai menggelayuti hatinya. Matanya sudah mulai memerah menahan tangis. Ia takut Bundanya pergi karena kejadian tadi malam. Ia takut Bundanya terluka dengan ucapannya semalam.
Namun kelegaan kembali tersisip dalam hatinya, begitu melihat bayang seorang wanita yang tengah duduk sendiri di kursi taman. Temaram lampu taman menerangi raganya yang kian sayu. Nisa hanya memperhatikan Bundanya dari jauh, ia takut akan membuat Bundanya merasa terganggu.
“Sedang apa, Nis?”
Niko datang menghampiri adiknya itu. Mencari tahu apa yang tengah di lakukan Nisa.
“Bunda sedang apa, Mas?” Tanya Nisa penasaran.
Niko mengangkat bahunya, “Entahlah, Mas sendiri tak tahu,”
“Mas, sampai kapan Bunda akan terus seperti ini? Nisa ingin Bunda cepat berubah”
“Sabar, Nis. Semua ada jalan keluarnya, dan semua akan indah pada waktunya. Kita hanya bisa berusaha untuk menyadarkannya, selebihnya kita serahkan semua kepada Allah, Nis!”
Nisa menganggukan kepalanya, “Mas benar!”
“Sudahlah. Sekarang cepat siap-siap sekolah. Nanti Mas antar, kamu tak perlu menggunakan sepeda. Cuaca sekarang sedang tak menentu!”
“Baik!” Ujar Nisa sembari berjalan menuju kamar mandi.
Setelah selesai merapikan jilbabnya dan membersekan buku-buku dari dalam tasnya, segera ia mencari Bundanya untuk meminta do’a restu pagi ini. Sementara Mas Niko sudah menunggui Nisa di atas jok motornya.
“Bunda, Nisa pamit dulu!” Ujar Nisa pelan.
“Ya!” Jawab Bundanya yang sama sekali tak menatap wajah putrinya itu.
Nisa masih tak beranjak dari tempatnya, ia menatap Bundanya dengan penuh kengiluan.
“Bunda, apa Bunda marah dengan Nisa?”
Tak terdengar jawaban dari Bundanya. Hati Nisa semakin galau di buatnya.
“Bunda. Nisa minta maaf, kalau memang Nisa sudah membuat Bunda kecewa!”
Bundanya masih tetapsibuk dengan pekerjaannya, ia tak memperhatikan Nisa yang kini mulai berurai air mata.
“Bunda, ada apa? Jawab, Bunda!! Apa yang menyebabkan Bunda tak mau berbicara dengan Nisa? Tak lagi memperhatikan kami, Bunda? Apa salah kami?” Suara Nisa semakin meninggi berbaur dengan isak tangis.
Mendengar ada keributan di dalam, Niko segera turun dari motornya dan berlari masuk ke dalam rumahnya. Terlihat Nisa yang tengah menangis bersimpuh di kaki Bundanya. Niko segera memapah Nisa untuk kembali berdiri.
“Sudah siang, Nis. Cepat kita ke sekolah. Mungkin Bunda sedang ingin sendiri saat ini!” Ujar Niko seraya menggandeng adiknya ke luar rumah.
Di jalan, Nisa tak berhenti meneteskan air mata. Ia sungguh tak mengerti apa yang ada di pikiran Bundanya saat ini. Semenjak kepergian ayah, Bunda benar-benar berubah. Kini Bunda tak pernah melakukan ibadah, Bunda pun jarang mempedulikan putra-putrinya.
Mas Niko menepi di depan gerbang sekolah yang sudah mulai ramai oleh lalu-alang para siswa. Mas Niko menatap adiknya itu lembut, di usapnya air mata Nisa dengan penuh sayang.
“Sudah jangan bersedih. Mas yakin, Bunda sebenarnya tak ingin bersikap seperti itu. Mas yakin ada sesuatu di balik semua itu. Bersabarlah!”
Nisa menyeka air matanya, berusaha untuk kembali tegar. Ia ukirkan senyum manis di bibir tipisnya.
“Iya, Mas!” Ujar Nisa seraya mengecup punggung tangan Niko dan berlalu pergi.
Sikap Bundanya tadi pagi, masih begitu membekas dalam hati Nisa. Ia tidak sakit hati karenanya, tapi ia hanya takut melukai perasaan Bundanya. Ia takut Bundanya akan seumur hidup membencinya. Ia sungguh ingin kebersamaan seperti dulu. Begitu hangat dengan kasih sayang, dan cinta illahi.
Di Mushola, Nisa curahkan semua rasa yang bergelayut dalam hati. Ia tumpahkan air mata dalam tiap sujudnya. Ia tak sanggup menahan kesedihan dalam hatinnya. Dan tangisnya semakin bertambah, ketika darah mengalir dari hidungnya. Kepalanya semakin terasa sakit, tubuhnya semakin lemah, dan akhirnya Nisa terjatuh.
“Ukhti!” Seru Hafiz begitu melihat Nisa terjatuh.
Segera Hafiz memanggil beberapa temannya untuk segera menghubungi salah seorang guru, dan menelfon Rumah Sakit. Wajah Nisa yang begitu pucat semakin membuat teman-temannya khawatir.
Di dalam ruangan serba putih itu, Nisa terbaring lemah. Matanya masih terpejam, tak sadarkan diri. Hafiz masih menungguinya dengan cemas. Mas Niko dan Bundanya tengah di hubungi pihak Rumah Sakit, memberitahukan keadaan Nisa.
“Sesungguhnya, dia menderita apa Dok?” Tanya Hafiz. Nada suaranya menyimpan kekhawatiran yang mendalam.
“Kanker Otak!”
“Kanker Otak?” Hafiz tak percaya. Ia pandangi tubuh lemah Nisa dengan penuh iba dan kasih sayang.
Mas Niko dan Bunda telah tiba di rumah sakit. Nampak kekhawatiran yang mendalam di wajah mereka, terlebih Bunda. Tak hentinya Bunda menitikka air mata di sepanjang jalannya.
“Nisa!!”
Bunda berlari menghampiri pembaringan putri kecilnya itu. Ia menangis, memeluk Nisa.
“Maafkan Bunda, Nisa. Bunda telah salah!”
Nisa tak menjawabnya, ia hanya terdiam dengan mata yang terpejam. Hafiz yang melihat kejadian itu menjadi ikut larut dalam kesedihan. Mas Niko hanya bisa menenagkan Bunda dengan pelukannya.
“Nisa…bangun, sayang!” Suara Bunda berbaur dengan isak tangis.
Jemari Nisa nampak tergerak, matanya perlahan mulai membuka. Dengan pandangannya yang masih kabur, ia temukan sosok Bunda di sampingnya dengan penuh air mata.
“Bunda…”
Bunda menyeka air matanya, ia tersenyum melihat putrinya yang mulai tersadar.
“Maafkan Bunda, sayang. Bunda telah salah menyikapi kalian. Bunda telah mengacuhkan kalian. Maafkan Bunda, atas sikap Bunda selama ini. Kini Bunda sadar, akan semua kesalahan Bunda.” Ujar Bunda sambil berlinang air mata.
Nisa tersenyum, perlahan ia usap air mata Bundanya dengan penuh kebahagiaan.
“Bunda. Bunda tak perlu meminta maaf, karena Nisa sudah memaafkan semuanya.”
“Kini Bunda sadar, bahwa sikap Bunda sangat menyakiti kalian. Menjadikan beban di pikiran kalian. Bunda pikir, dengan megacuhkan kalian Bunda akan sanggup melupakan bayang ayah. Tapi ternyata tidak. Justru semakin hari, sikap kalian yang memperhatikan Bunda, kalian yang memperingati Bunda untuk mengingat Allah, justru membuat Bunda semakin teringat Ayah. Kini, Bunda tak ingin lagi kehilangan seseorang yang sangat berarti seperti kamu, dan Mas Niko!”
Niko menangis di pelukkan Bunda, begitu juga dengan Nisa. Hafiz ikut menitikkan air mata melihat kejadian yang ada di hadapannya itu.
“Nisa tak ingin kehilangan Bunda! Bunda harus tetap tersenyum, Bunda harus tetap bahagia!” Ujar Nisa dengan suaranya yang melemah. “Mas Niko, jaga Bunda selalu. Jangan sakiti Bunda!”
Nisa memandang kearah Hafiz yang tengah duduk di sudut ruangan. “Mas Hafiz, terimakasih untuk semuanya. Nisa juga menyayangi Mas Hafiz, seperti Nisa menyayangi kakak sendiri…”
Pandangan Nisa mengabur. Terdengar suara lirih dari mulutnya, menyebut Asma Allah dengan lembut, seiring dengan matanya yang terpejam. Bunda dan Niko menangis melepas kepergian Nisa ke pangkuan Illahi. Mereka memeluk tubuh Nisa yang tak lagi bernyawa.
Sementara Hafiz hanya bisa menangis dalam diam, dengan tangan bergetar ia remas dadanya yang serasa sesak menahan tangis. Perlahan ia menghampiri ranjang Nisa dan menatapnya untuk yang terakhir kalinya. “Aku mencintaimu karena Allah” Ucap Hafiz dalam hati. Ketika itu air mata mulai terjatuh dari kelopak matanya.
Dalam temaram lampu taman, Bunda duduk ditemani dengan Niko. Mereka menatap jauh ke langit luas. Mereka menatap jutaan bintang yang berpendar di angkasa kelabu. Membiarkan bayang Nisa dan Ayah, yang menari-nari di balik pijar sang bintang.
“Telah lama Nisa simpan hadiah ini untuk Bunda. Dan kini, saatnya Bunda untuk menerimanya”
Niko memberikan sebuah kado berbentuk hati untuk Bundanya. Bunda membukanya perlahan. Terlihat sebuah mukenah, musshaf dan jilbab di dalamnya. Bunda kembali menitikkan air mata, ia tak menyangka putrinya begitu berharap akan perubahan dalam dirinya. Sepucuk surat terselip dalam mushaf kecil, Bunda mengambilnya dan membacanya perlahan.
Bunda…
Semua ini Nisa persembahkan untuk Bunda
Sebuah kado istimewa berbingkai kasih sayang, untuk Bunda…
Bunda…
Terkadang, tangis Nisa tercurah dalam diam…
Berbaur menjadi satu dalam keinginan yang terpendam
Harapan Nisa adalah bisa bersama dengan Bunda dan Mas Niko
Untuk bersama meniti jalan menuju surga…
Maaf  jika Nisa terus mengganggu Bunda dengan ajakan-ajakan Nisa
Tapi Nisa lakukan itu karena satu…
Karena Nisa sayang Bunda… Karena Nisa cinta Bunda…
Bunda, Bunda, dan Bunda… adalah orang yang selalu Nisa sayang…
Orang yang selalu Nisa cintai…
Bunda kembali menitikkan air matanya, ia rengkuh surat itu dalam dekapannya.
Adzan subuh mulai menggema dalam ruang tak berbatas, bau basah akibat hujan dini hari tadi merayap masuk melalu celah jendela yang terbuka. Bunda menghampiri Niko yang masih tertidur dalam ranjangnya.
“Sudah subuh.. bangun Niko!” Bunda memebelai kepala Niko dengan kasih sayang.
Niko membuka matanya, senyum terukir di wajahya yang masih nampak kucal.
“Ayo cepat! Nanti kita ketinggalan untuk berjama’ah!” Ujar Bunda seraya menyodorkan sarung dan peci untuk Niko.
“Iya, Bunda. Niko ambil air wudhu dulu!” Jawab Niko. Kini senyumnya semakin mengembang.
Setelah shalat berjama’ah, Bunda dan Niko duduk di beranda rumah. Mereka menatap mentari yang perlahan mulai melukiskan guratan fajar di langit yang mulai membiru.
“Bunda. Niko ingin mengatakan ini, selagi Allah masih memberikan kesempatan Niko untuk hidup di dunia ini. Niko ingin katakan, bahwa Niko cinta Bunda, Niko sayang Bunda, Niko tak ingin kehilangan Bunda!”
Bunda tersenyum, menatap putranya penuh cinta. “Bunda juga cinta Niko, Bunda sayang Niko!”
Keduanya berpelukan erat, cahaya matahari nampak bersinar menerangi kebersamaan mereka.
“Ajari Bunda mengaji Niko!” Ujar Bunda seraya melepas pelukannya.
Niko menggangguk pasti. Ia ikuti langkah Bundanya dengan penuh semangat. Langkahnya sempat terhenti begitu melihat potret Nisa di tembok rumahnya, Niko memandanginya dengan mata berkaca-kaca.
“Terimakasih adikku, karena kau tularkan cinta itu padaku. Kau salurkan kekuatan cinta padaku. Dan lewat dirimu Allah berikan hidayah untuk Bunda kita. Dan karena mu keberanian itu muncul, untuk menyatakan cinta pada Bunda. Semangat mu akan terus berkobar dalam jiwaku! Cinta mu adalah cahaya bagi Bunda!” Batin Niko dalam hati.
Read More ->>

5 Kisah Legenda Terseram yang Banyak Menyisikan Hal Mistis

Inilah sebuah leganda tertua yang banyak menyisikan misteri-misteri yang teramat mistis,tanpa banyak berargument langsung aja simak sendiri….
5. The Octavius

Walaupun sekarang dianggap lebih legenda daripada apa pun, cerita tentang Octavius tetap salah satu yang paling terkenal dari semua cerita kapal hantu. Cerita tanggal kembali ke 1775, ketika dikatakan bahwa sebuah kapal penangkap ikan paus yang disebut Herald sengaja menemukan Octavius mengambang tanpa tujuan di lepas pantai Greenland. Crewmembers dari Herald naik Octavius, di mana mereka menemukan tubuh para awak dan penumpang semua beku oleh dingin arktik.
The Octavius:

hvxa4i1 5 Kisah Legenda Terseram yang Banyak Menyisikan Hal Mistis

Paling menonjol, para kru menemukan kapten kapal masih duduk di mejanya, pertengahan menyelesaikan sebuah entri log dari 1762, yang berarti telah Octavius terapung selama 13 tahun. Menurut legenda, ia akhirnya menemukan bahwa sang kapten telah mempertaruhkan untuk membuat cepat kembali ke Inggris dari Timur melalui Northwest Passage, tetapi bahwa kapal telah menjadi terperangkap di dalam es. Jika benar, ini akan berarti Octavius telah menyelesaikan bagian ke Atlantik sebagai hantu kapal, para awak dan kapten lama mati terekspos sampai unsur.
4.The Joyita

The Joyita adalah seorang nelayan dan perahu sewaan yang ditemukan ditinggalkan di Pasifik Selatan pada tahun 1955. Kapal, bersama dengan 25 penumpang dan awak, sedang dalam perjalanan ke Kepulauan Tokelau ketika sesuatu terjadi, dan tidak sampai jam kemudian bahwa Joyita terlambat dilaporkan dan upaya penyelamatan diluncurkan. Sebuah pencarian udara besar-besaran dilakukan, tapi gagal menemukan kapal yang hilang, dan tidak sampai lima minggu kemudian bahwa kapal dagang tersandung atas Joyita hanyut sekitar 600 mil dari aslinya saja.
The Joyita:

295u73l 5 Kisah Legenda Terseram yang Banyak Menyisikan Hal Mistis

Tidak ada tanda-tanda dari penumpang, kru, kargo, atau kehidupan rakit, dan kapal itu rusak dan daftar cukup parah ke satu sisi. Pemeriksaan lebih lanjut oleh pihak yang berwenang menemukan bahwa radio kapal disetel untuk tanda bahaya universal, dan pencarian dari geladak menemukan tas dokter dan beberapa perban berdarah. Tak satu pun dari awak atau penumpang yang pernah terlihat lagi, dan misteri dari apa yang terjadi belum pernah terungkap. Teori yang paling populer adalah bahwa membunuh bajak laut penumpang dan melemparkan tubuh mereka ke laut, tapi klaim lain termasuk segala sesuatu dari pemberontakan dan penculikan penipuan asuransi.

3. The Lady Lovibond

Inggris memiliki tradisi panjang legenda tentang hantu kapal, dan Lady Lovibond ini mungkin yang paling terkenal. Sebagai jalan ceritanya, Lady Lovibond kapten, Simon Peel, baru saja menikah, dan memutuskan untuk membawa kapal di atas sebuah kapal pesiar untuk merayakannya. Dia membawa pengantin barunya sepanjang-akan berlangsung lama pelayaran terhadap keyakinan bahwa membawa seorang wanita di papan perahu adalah nasib buruk-dan berlayar pada 13 Februari 1748. Sayangnya untuk Peel, mate pertamanya juga jatuh cinta dengan istri barunya, dan setelah menonton perayaan, orang menjadi marah dan kewalahan dengan kecemburuan dan sengaja mengarahkan perahu ke Goodwind mematikan Sands, sebuah bar pasir terkenal karena menyebabkan kecelakaan kapal.
The Lady Lovibond:



Lady Lovibond tenggelam, menewaskan semua penumpang. Sebagai legenda berjalan, sejak kecelakaan Lady Lovibond dapat dilihat berlayar di perairan sekitar Kent setiap 50 tahun. Hal ini terlihat pada tahun 1798 oleh beberapa kapten kapal yang berbeda, serta pada tahun 1848 dan 1898, ketika itu seharusnya tampak begitu nyata bahwa beberapa kapal, berpikir itu sebuah kapal dalam kesusahan, sebenarnya dikirim rakit untuk membantu itu. Lady Lovibond kembali terlihat pada tahun 1948, dan sementara tidak ada penampakan dikonfirmasi pada tahun terakhir di tahun 1998, terus menjadi salah satu yang paling terkenal legenda kapal hantu di Eropa.
2.The Mary Celeste

Tidak diragukan lagi yang paling terkenal dari semua kehidupan nyata hantu kapal, Mary Celeste adalah kapal dagang yang ditemukan gelandangan dan terapung-apung di Samudera Atlantik pada tahun 1872. Kapal itu dalam kondisi layak laut, dengan segala layar masih terjaga dan toko penuh makanan dalam kargo, tapi hidupnya perahu, kapten buku log dan, yang lebih penting, seluruh kru, menghilang secara misterius. Tidak ada tanda-tanda perjuangan, dan barang-barang pribadi dari kru dan kargo dari lebih dari 1500 barel alkohol tersentuh, tampaknya mengesampingkan kemungkinan pembajakan sebagai penjelasan. Pada tahun-tahun sejak penemuan aneh, sejumlah teori telah diusulkan mengenai kemungkinan nasib kru Mary Celeste.
The Mary Celeste:

20shc2w 5 Kisah Legenda Terseram yang Banyak Menyisikan Hal Mistis

Ini termasuk bahwa mereka penumpang tewas akibat puting beliung, bahwa awak memberontak, atau bahkan makan tepung yang terkontaminasi dengan jamur membawa semua penumpang untuk berhalusinasi dan menjadi gila. Teori yang paling mungkin tetap bahwa badai atau beberapa jenis masalah teknis memimpin sebelum waktunya meninggalkan kru untuk kapal dalam sekoci, dan bahwa mereka kemudian meninggal di laut. Namun, misteri yang mengelilingi Mary Celeste telah menimbulkan banyak spekulasi liar, dan lain-lain telah mengusulkan segalanya dari hantu ke laut monster dan penculikan orang asing mungkin penjelasan.
1. The Flying Dutchman

Maritim cerita rakyat, tidak ada hantu kapal yang lebih terkenal daripada Flying Dutchman, yang telah mengilhami banyak lukisan, cerita horor, film, dan bahkan sebuah opera. Kapal pertama kali disebutkan pada akhir 1700-an di George buku pelaut Barrington’s Voyage ke Botany Bay, dan sejak itu para legenda terus tumbuh, berkat berbagai penampakan itu oleh nelayan dan pelaut. Sebagai cerita, si Flying Dutchman adalah kapal keluar dari Amsterdam yang dikapteni oleh seorang pria bernama Van der Decken. Kapal itu membuat jalan menuju Hindia Timur ketika menghadapi cuaca yang berbahaya di dekat Tanjung Harapan.
The Flying Dutchman:

foztz8 5 Kisah Legenda Terseram yang Banyak Menyisikan Hal Mistis

Bertekad untuk persimpangan, Van der Decken seharusnya menjadi gila, membunuh pasangan yang pertama, dan bersumpah bahwa ia akan melintasi Cape, “bahkan jika Tuhan akan membiarkan aku berlayar ke Judgment Day!” Walaupun usaha terbaik, kapal tenggelam di badai, dan sebagai legenda berjalan, Van der Decken dan kapal hantu sekarang dikutuk untuk berlayar lautan untuk selama-lamanya. Sampai hari ini, Flying Dutchman yang terus menjadi salah satu yang paling berpandangan dari semua kapal hantu, dan orang-orang dari nelayan laut dalam kepada Pangeran Wales memiliki semua mengklaim telah melihatnya membuat yang tak pernah berakhir perjalanan menyeberangi lautan.
Read More ->>

Minggu, 09 September 2012

Ada Cahaya di Hatimu



Senja telah datang, dengan solekan siluetnya yang menyapu langit biru. Angin sore berhembus tenang menerpa dedaunan yang berayun di pucuk-pucuk dahan. Menimbulkan desir ritmis yang menyapa kalbu, meniupkan aroma ketenangan yang merasuk jiwa. Kursi taman yang sedikit berkarat karena terkena hujan dan panas yang tak menentu, kini menjadi tempat bersandar untukku. Tempat di mana kini aku duduk untuk merehatkan sejenak persendianku yang tengah ngilu karena seharian berkutat dengan tugas-tugas yang tak kunjung terselesaikan. Jangan mengira aku kini berada di sebuah taman indah yang tertata rapi di tengah kota, dengan sarana hotspot yang membuat para remaja sibuk dengan laptop mereka, dengan kursi taman yang megah dan tatanan kembang yang menawan menjajari setapak jalannya, atau mungkin tempat yang ramai dan heboh di kunjungi para remaja yang tengah memadu “cinta abu-abu”nya. Bukan, aku tidak berada di sana saat ini. Aku berada di sebuah tempat yang jarang terjamah mereka, tempat yang mana setiap saat aku kunjungi tak pernah aku melihat aktivitas berbaku syahwat bertebaran di tiap sudutnya. Ya, aku berada di sebuah taman kecil dekat masjid yang tak jauh dari sekolahku. Taman yang tertutup oleh ilalang dan hanya bunga liar yang tampak menghiasi rumput-rumput yang tak lagi terawat.
Peluh merembes dari pori tubuhku, menetes membasahi jilbab putih yang kini tengah kukenakan. Mataku kembali tertuju pada layar laptop yang kini tengah berada di pangkuanku, laptop yang menyimpan sejarah tentangku, yang kubeli dengan uang hasil kerjaku sebagai penulis lepas. Aku sudah menjalani ini sejak lama, tentunya semenjak keluargaku mengalami perosotan dalam konteks ekonomi. Tak pernah terpikir sebelumnya, aku mampu menuangkan kata demi kata menjadi rangkaian sederhana dalam lembaran masa. Semua berawal dari cerita hati yang mengalir begitu saja, mengenai suka dan duka dalam menyusuri lorong kehidupan yang entah kapan akan berujung.
“Duhai senja, izinkan aku untuk bersandar di kolong langitmu. Izinkan aku untuk menerka seperti apa rupamu. Aku ingin temukan keberadaanku, ingin ku temukan arahku. Jika mentari senja telah menghilang, mereka berkata: banyak permata yang menuntun kita melangkah. Namun aku tak pernah merasakan, permata yang mereka katakan menuntunku dalam kesendirian ini. Aku hanya terjatuh, dan kembali terjatuh. Bahkan aku tak pernah mengetahui kapan senja berakhir.”
Aku melihat seorang anak lelaki dengan tubuhnya yang kecil dan kurus duduk bersandar di sebuah pohon mangga yang tak lagi berbuah, tengah bersenandung dengan kata-katanya yang indah.
“Jika permata itu tak mampu menuntunmu, maka carilah yang mampu menuntunmu. Ia yang lebih dari sekadar bintang bahkan mentari. Ia yang memiliki cahaya paling terang, di antara cahaya terang yang kau dapati!” Ujar ku seraya melangkah ke arahnya, sedikit menjaga jarak.
Ia tak memandangku, ia terus memandang ke depan. Senyum kecilnya tersungging, senyum kanak-kanak yang penuh harapan.
“Aku tak pernah mendapati cahaya terang. Yang kutemukan hanyalah kegelapan.” Ujarnya, ia menatap dengan tatapan kosong.
Aku sedikit menilik wajahnya, wajah yang polos ke kanak-kanakkan. Entah mengapa bocah cilik itu pandai memainkan kata menjadi rangkaian kata indah sarat makna. Mata beningnya memandang lurus kedepan, tatapan tanpa arah dan tujuan. Aku masih terdiam.
“Kau siapa?” Tanya bocah itu. Ia masih tak memandangku, membuatku merasa tak di hargai di depannya. Tapi ada sesuatu yang menarik dari dirinya, yang membuatku enggan pergi dari tempatku. Sesuatu yang menggelitik hati, tentang ucapannya yang puitis di usianya yang mungkin jauh lebih muda dariku.
“Lia. Niki Arzalia. Kamu?”
Bocah itu terdiam, kemudian tersenyum pahit. “Pentingkah untukmu mengetahuinya?” Ujarnya dengan bahasanya yang dewasa, tak cocok dengan pawakan dan wajahnya yang kekanak-kanakkan.
“Siapa namamu? Sepertinya, usia mu jauh lebih muda dariku?”
Ia masih terdiam, tangannya memegang tongkat kayu dengan erat. Masih tak memandangku.
“Kenapa? Kau terkejut dan menganggap ku gila dengan bahasa yang ku gunakan?” Ujarnya dengan senyuman yang mengambang.
“Syairmu sungguh puitis, aku menyukainya.”
Dia tertawa kecil, “Syair? Syair kau bilang? Aku tak pernah menganggapnya sebagai syair atau puisi. Itu hanyalah ucapan gila yang terlontar dari lidah seorang cacat sepertiku.”
Aku tertegun, berusaha mencerna apa yang ia katakan.
“Aku buta. Semua orang menganggap aku bocah gila. Bocah berumur dua belas tahun dengan ucapannya yang aneh.” Ia tertawa, “Entah sampai kapan, aku bisa bertahan dengan keanehan ini. Aku tak seperti yang lain. Mungkin kau merasakannya!” Ujarnya seraya berbalik pergi. Langkahnya tertatih, tongkatnya ia gunakan untuk membantu jalannya. Aku terpaku di tempatku berdiri. Bocah yang empat tahun lebih muda dariku, dengan kata-katanya yang dewasa, cuek, dan puitis. Entah siapa Ia, aku tak mengerti.
Gerimis berderai, tetesnya membasahi dedaunan kering yang berdebu. Di balik tirai jendela kamar, aku menikmati sisa senja yang perlahan mulai menghilang, menghilang dan menampilkan berkas hitam di cakrawala. Malam akan menjelang, mungkin tanpa bintang dan rembulan. Bocah itu kembali bermain di celah pikiranku, memainkan bayang-bayang semu yang tak pernah ada kepastian. Ucapannya kembali terngiang di telingaku, “Semua orang menganggap aku bocah gila. Bocah berumur dua belas tahun dengan ucapannya yang aneh. Entah sampai kapan, aku bisa bertahan dengan keanehan ini. Aku tak seperti yang lain. Mungkin kau merasakannya!”
Ya, dia memang tak seperti yang lain. Dengan penampilan dan wajahnya yang kekanak-kanakkan, ia terlihat dewasa dengan ucapannya. Ucapannya selalu penuh teka-teki. Dan puisi itu, bahkan ia tak menganggapnya puisi. Apakah itu memang tanpa sadar ia ucap? Tanpa kesadaran ia ucapkan itu, tanpa kesadaran bahwa itulah ragam bahasanya. Bahasanya yang tak pernah sederhana. Ah, aku tak tahu!
Hari Minggu yang cerah. Sinar mentari begitu hangat, terasa lembut menusuk jiwa. Usai membantu Ummi membereskan rumah, aku berniat pergi menuju taman itu. Ingin ku dapati kesegaran dalam pikiranku, agar dengan mudah aku bisa menyelesaikan cerpenku yang masih tertunda.
Angin yang sejuk membelai jilbab merah mudaku. Aku merasakan kesejukan yang luar biasa hari ini, tentunya setelah melaksanakan shalat duha di masjid dekat taman. Perlahan mulai ku rangkai apa yang kini tengah ada dalam benakku, menuangkannya pada sebuah tulisan fiksi yang akan ku kirimkan ke sebuah majalah remaja islami.
Sudah dua setengah jam aku mengadu mata dengan monitor, menyelesaikan tulisanku hingga usai. Ku putuskan untuk berjalan ke sekeliling taman, mencari kesegaran untuk merefresh kembali otakku. Kembali mataku menangkap bayang seorang anak yang tengah duduk di balik semak. Seorang anak yang ku temui di taman kemarin sore, entah apa yang kini tengah ia lakukan. Baru sejenak aku memutuskan untuk menghampirinya, langkahku kembali terhenti begitu melihat sekumpulan bocah yang berlari menghampirinya.
“Eh! Sedang apa kau disini? Mencari uang untuk mengobati matamu yang buta itu ya?” Ujar salah satu dari mereka, yang lain tertawa.
“Mana mungkin bisa terobati? Mencari uang saja dia tidak bisa, hahaha!”
Bocah itu masih terdiam, menunduk tak menentang. Aku masih terdiam di tempat, tak mampu melangkahkan kaki ke arahnya.
“Iya, dia kan tidak bisa melihat cahaya! Semuanya gelap! Sama dengan masa depannya yang gelap! Hahahaha”
Menyakitkan, sungguh menyakitkan. Namun aku tak mengerti, mengapa aku tak mampu untuk sekedar membelanya. Bibirku seakan terkatup, tak mampu berbicara.
“Aku bisa menemukan cahaya itu! Aku bisa!” Ujar Bocah itu, suaranya sedikit meninggi.
“Mana? Cahaya seperti apa yang kau lihat Berkhayal kamu! Hahha”
Ada, cahaya yang lebih dari sekedar bintang bahkan mentari. Cahaya yang mampu menuntunku, dan ia ada di hatiku!”
Aku tertegun mendengar ucapannya. Ucapannya yang sama dengan ucapanku padanya sore itu. Aku terharu, ia masih mengingatnya, ia betul-betul mencernanya.
“Dengar teman-teman. Kata-kata gilanya muncul. Hahahaha. Menuntunmu kemana? Kau sendiri tak punya kemampuan untuk menentukan masa depanmu? Kamu ini cacat! Tidak bisa bermain bola, playstation, bahkan bekerja! Teruskan saja angan-anganmu! Dasar kau buta! Hahaha”
Bocah-bocah nakal tu berlari pergi, salah satu di antaranya mendorong anak itu hingga terjatuh. Spontan aku langsung menghampirinya. Aku melihat matanya yang bening basah, mungkin ia menahan tangis.
“Kamu tidak apa-apa?” Tanya ku sambil memperhatikan badannya, takut jika ada yang terluka.
“Kenapa kamu kembali datang? Untuk mencerca ku? Sama seperti teman-temanku yang lain?” Ujarnya. Ia menunduk.
Aku menggeleng, sebuah sikap yang tak mungkin tertangkap di matanya. “Aku kemari untuk menghiburmu.”
Ia masih terdiam, tak bersuara. Aku tak beranjak pergi, masih disana menemaninya.
“Apa yang kamu lakukan takkan mampu mengobati ke cacatanku. Aku buta, tak memiliki masa depan. Bahkan membahagiakan Abah dan Emak pun aku tak mampu! Benar kata teman-temanku, aku tak memiliki kelebihan apapun”
“Kamu pasti mampu. Kamu memiliki kelebihan yang tak mereka punyai. Kelebihan itu ada di hatimu.”
“Inikah caramu menghiburku?”
Aku menghela nafas, membiarkan angin yang berhembus membantuku untuk berbicara. “Kau tahu? Kau memiliki kelebihan yang tak kau sadari. Kelebihan yang menurutmu aneh dan gila. Tentang kemampuanmu merangkai bait-bait indah, kau bisa menjadi penulis! Penulis terkenal dengan karyanya yang  mengagumkan!”
Anak itu masih terdiam seperti memikirkan sesuatu. Aku memetik beberapa bunga liar dan memainkannya, menunggu anak itu berbicara.
“Mereka bilang itu aneh. Kata-kata gila yang tak tercerna! Mereka menganggapku rendah” Ujarnya.
“Karena mereka tak tahu, mereka tak bisa memahami. Karenanya, kamu harus membuktikan pada mereka, bahwa kamu bisa, dan kamu tidak aneh seperti yang mereka katakan! Kamu harus semangat!”
“Kenapa kamu memahamiku? Kenapa kau tak menghujatku?”
“Karena aku ingin kamu menjadi temanku, temanku yang semangat dan tak pernah mengenal lelah!”
“Teman?”
“Iya teman. Kamu mau menjadi temanku? Dan berjanji akan terus bersemangat menjalani hidup?”
Anak itu tersenyum, senyum kekanakkan yang lembut. Tak pernah aku melihatnya segembira ini.
 “Abah dan Emak memanggilku Ijal, kamu bisa memanggilku demikian” Ujarnya dan berjalan pergi. Tapi kemudian langkahnya terhenti, ia bertanya dengan suara kecilnya..
“Kalau kau temanku, tentu kau mau menunjukan apa cahaya yang sering kau sebut-sebut?”
“Dia ada di dekatmu, selalu mengawasi dan menemanimu. Dialah Tuhan-mu.”
Anak itu terdiam, menekan dadanya. Kemudian tersenyum, “Aku menemukannya!” Teriaknya lantang.
Hari demi hari, seakan terwarnai dengan kehadiran anak itu. Dengan tawanya yang jernih khas anak-anak, aku memperoleh banyak ide darinya. Setiap sore datang, aku selalu mengunjunginya di taman ataupun di rumahnya. Rumah kecil dari bilah bambu yang berdiri tak jauh dari taman. Aku senang berkunjung ke sana, sekedar untuk bercerita dengan Abah dan Emak, ataupun membantu Ijal menulis karyanya. Bahkan adiknya, Tia juga dekat denganku. Selalu mengajakku bermain, atau membantunya belajar. Mereka seolah menjadi keluarga kedua bagiku. Dan tak hanya aku, Abi dan Ummi-pun kadang berkunjung kesana. Sebuah kekerabatan yang hangat, yang tak pernah terduga sebelumnya.
“Mungkin nanti sampai selesai ujian, aku gak bisa kesini lagi. Aku harus serius belajar, karena ujian sudah dekat. Kamu belajar sendiri ya?” Ujarku pelan.
Ijal mengangguk, “Iya, aku mengerti.”
“Oh iya, kapan pengumuman lombanya?”
“Lusa.”
“Kalau begitu, besok saat aku datang kemari bawakan aku piala kemenanganmu ya? Aku tunggu!”
Ijal mengangguk dengan senyumnya yang khas, senyum ke kanak-kanakkan yang sangat lucu. Hari itu adalah hari terakhir aku berkunjung ke rumahnya. Selanjutnya aku serius dengan bimbingan belajar yang aku ikuti. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk Abi dan Umi.
Tiga hari sebelum ujian berlangsung, kepalaku mendadak sakit yang begitu hebat. Jika pusing biasa, tak akan sesakit ini. Ummi begitu khawatir melihat keadaanku, segera ia membawaku ke rumah sakit. Hasilnya sangat memilukan, sangat mengejutkan, bahkan aku tak pernah menduga sebelumnya. Ada tumor di otakku dan harus segera di angkat sebelum menjadi parah.
Aku menggeleng, “Lia mohon Ummi, Abi, tunggu sampai Lia selesai ujian!”
“Jangan Lia. Nanti akan semakin parah, Ummi dan Abi masih punya simpanan untuk operasimu!”
“Tidak Ummi. Lia yakin, akan kuat sampai nanti! Lia mohon! Ummi, Abi, percaya Lia kan?”
Ku lihat mereka menangis, aku segera memalingkan muka. Aku harus berjuang, setidaknya sampai ujian selesai. Aku tak ingin mengacaukan semuanya. Aku tak ingin mengecewakan Abi dan Ummi, Aku harus memberikan yang terbaik. Perjuanganku selama tiga tahun ini, tak boleh terbuang begitu saja. Aku sudah di terima di salah satu universitas negeri melalui PMDK, juga mendapatkan beasiswa di sana. Kini tinggal selangkah untuk membahagiakan kedua orang tuaku, aku tak mau melewatkannya. Mereka pernah berkata, ingin melihatku masuk di universitas yang mereka inginkan. Dan aku tak akan mengecewakan mereka hanya karena penyakitku ini.Tidak.
Soal-soal ujian terakhir tengah ku hadapi, ku coba untuk bergelut dengan rasa sakitku. Senyuman Ummi dan Abi melayang dibenakku, tentang Ijal yang berjanji akan menunjukan piala kemenangannya setelah ujian usai. Aku tak boleh menyerah, aku harus berjuang. Ku rasakan kepeningan yang luar biasa, pandanganku mengabur. Aku terjatuh, setelah aku berhasil menjawab nomor terakhir.
Samar ku dengar, suara Ummi dan Abi melantunkan ayat suci alqur’an. Ku coba perlahan membuka mataku. Tertangkap bayangan Abi dan Ummi bersimpuh membaca Al-Qur’an. Sosok wanita yang ku kenal duduk di sebelahku, tak salah ia Amah Niar. Mata mereka sembab, aku tak mengerti. Ku rasakan, selang infuse menancap di tanganku, ada selang oksigen yang membantu pernafasanku. Ku coba untuk mengeluarkan sepatah kata, ku ingin menyapa mereka.
“Ummi…Abi…Amah!”
Ku lihat Amah Niar sedikit terkejut, ada raut kegembiraan begitu melihatku. Begitu juga dengan Abi dan Ummi, mereka langsung merangkulku.
“Alhamdulillah, Lia telah sadar?”
Ada apa ini, Ummi?”
“Lia masih ingat, Lia jatuh pingsan setelah mengerjakan soal ujian terakhir?”
Aku mencoba mengingatnya, bayangan itu kini hadir di benakku. Aku mengangguk.
“Setelah itu Lia dibawa di rumah sakit. Setelah di operasi Lia mengalami koma berkepanjangan!”
“Seberapa lama Ummi?’
“Satu bulan. Awalnya dokter menyerah, karena tak sanggup lagi.  Ummi hampir saja putus asa, kalau Abi-mu ini tidak menabahkan Ummi. Ummi terus berdo’a akan kesembuhanmu. Dan sekarang, Ummi begitu bahagia bisa bersamamu lagi!” Ujar Ummi sambil menangis. Mataku memerah.
Seminggu setelah itu, aku keluar dari rumah sakit. Aku, Ummi, dan Abi untuk sementara tinggal di Semarang, di rumah Amah Niar. Pengobatanku yang mahal membuat Abi menjual rumah, dan kini Abi tengah bekerja sebagai pelatih inkai di salah satu universitas tempat Ami Ario-suami Amah Niar- bekerja sebagai dosen. Sedangkan Ummi, bersama Amah Niar membangun bisnis catering dan sebuah butik. Aku bangga dengan mereka, mampu setabah itu menghadapi ujian yang datang. Dan aku, aku lulus dengan nilai yang baik, dan kini aku akan segera berkuliah dengan beasiswa yang aku dapat. Hingga nanti aku lulus dan bekerja, serta Abi dan Ummi memiliki uang untuk kembali ke Tegal dan membangun rumah kembali, mungkin kami akan tetap disini. Namun ada satu yang mengganjal pikiranku, tentang Ijal, entah seperti apa keadaannya kini aku tak mengerti. Aku merasa berasalah padanya karena telah mengingkari janjiku untuk bertemu dengannya usai ujian sekolah. Ah Ijal.. maafkan aku!
Delapan tahun sudah aku berada di Semarang. Aku telah lulus sebagai lulusan terbaik, dan kini aku tengah bekerja sebagai asisten manager di salah satu majalah islami terkenal. Rencananya lusa, aku beserta Ummi dan Abi akan pulang ke Tegal. Aku akan melepas jabatanku itu. Dan kembali ke Tegal untuk membuka sebuah tempat pelatihan  kepenulisan di sana.
Sebelumnya, aku pergi ke toko buku. Aku ingin membelikan buku untuk Ijal sebagai permintaan maafku. Meski aku tahu mungkin Ijal tak mampu membacanya, tapi Ijal memiliki adik yang sangat pintar, dan Tia pasti bisa membacakan buku itu untuknya. Mataku terpaku pada sebuah buku berwarna kuning cerah, berjudul “Ada Cahaya di Hatimu”, karya Muhammad Rizal Adhi Pratama.
“Lia! Sudah hampir pukul dua belas! Cepat, nanti kita ketinggalan kereta!” Ummi mengingatkan.
Tanpa ku baca lebih dalam tentang buku itu, segera ku meminta pelayan toko untuk membungkusnya rapi. Kemudian segera ku berlari menyusul Ummi dan Abi. Kami pulang dengan kereta. Perasaanku tak karuan, tak sabar untuk bertemu Ijal. Bocah kecil yang mungkin sekarang tak kecil lagi. Aku akan meminta maaf padanya.
Langit senja berwarna kemerah-merahan, dedaunan kering di tapak jalan menuju rumah Ijal berterbangan tertiup angin. Rumah bambu kecil dengan pohon mangga di depannya, aku masih ingat betul. Segera aku mengetuk pintu rumahnya, namun tak ada jawaban. Seorang Ibu tua di rumah sebelah ke luar menghampiriku.
“Mereka sudah pindah, entah kemana!” Ujarnya dengan suara parau.
Aku hanya bisa terpaku. Kemana Ijal? Bahkan aku belum sempat mengucap maaf, ia telah pergi. Ada selaksa kerinduan yang terbersit di hatiku. Ku putuskan untuk datang ke taman tempatku betemu Ijal. Aku ingin mengenang masa-masa remajaku, bersama bocah kecil sok puitis disana. Ah Ijal, dimana engkau sekarang?
Taman itu masih sama seperti dulu, dengan rumputnya yang liar dan kursi taman berkarat yang ada di tengahnya. Aku duduk disana, menggenggam kado kecilku untuk Ijal dengan pilu. Sesaat mataku tertuju pada botol kaca di samping kursi, berpita pink yang sudah luntur terkena hujan dan panas. Aku meraihnya, ada sebuah kertas di dalamnya. Aku membacanya…
Kamu begitu jahat meninggalkanku begitu saja…Kamu berjanji untuk menemuiku usai ujian sekolah? Tapi kau tak kunjung datang…Kau tau? Pada hari itu aku menunggumu… hujan dan panas tak ku hiraukan. Pada hari itu aku membawakan piala besar untuk kau lihat. Aku memenangkannya Lia!! Tapi kau tak kunjung menyapa ku…Setiap hari, aku selalu kemari… berharap aku bisa mendengar celotehanmu itu,namun nihil…Dan setiap hari pula disini aku dijahili anak-anak nakal itu… tapi kau tak datang untuk membelaku kembali… Ah... mungkinkah kamu melupakan aku? Seorang buta yang tengah belajar untuk menemukan cahaya di hidupku…Ya sudalah… bukankah kau katakan dulu, kalau seorang ikhwan tak boleh cengeng? Aku akan belajar itu Lia…Tulisan ini, Tia yang menulis…Dia sering merengek-rengek minta bertemu denganmu…Begitu juga dengan Abah dan Emak, mereka rindu padamu. Lalu aku? Sudahlah, tak perlu di bahas… kerinduanku padamu tak akan bernilai, karena aku-pun takkan pernah mendengar suaramu lagi, dan mungkin kau takkan pernah merindukaku. Tapi satu yang harus kau tau, aku akan slalu mendoakanmu di setiap sujudku. (Ijal, Tia, Emak, dan Abah)
Air mata membasahi pipiku, aku telah membuat anak itu khawatir… bahkan mungkin mengecewakannya. Rasa bersalahku tertumpah begitu saja disana, aku tak sanggup menahan air mataku. Dari dulu aku memang bukanlah akhwat tangguh yang mampu memendam luka dan tangis dalam hati… Dan kini, entah kapan aku bisa bertemu dengan bocah itu lagi.
“Kenapa menangis?”
Suara seorang pria menyapa telingaku. Segera ku hapus air mataku. Seorang pria tinggi kekar dengan dadanya yang bidang, wajahnya teduh, matanya bening. Pria yang memiliki jenggot tipis di dagunya, ia yang berkacamata, aku tak mengenalnya.
“Apa ini?” Pria itu mengambil paksa kado yang tengah aku pegang. Kado untuk Ijal yang mungkin takkan pernah tersampaikan.
“Jangan. Itu untuk temanku!” Sebisa mungkin aku merebutnya. Namun ia jauh lebih tinggi dari ku. Aku tak mampu meraihnya. Perlahan ia membuka kado itu, kemudian tersenyum.
“Siapa kamu? Tak sopan caramu seperti itu. Bahkan aku tak mengenalmu!”
Pria itu menyerahkan novel itu padaku, “Perhatikan isinya, maka kau akan mengenalku!” Ujarnya seraya berbalik pergi.
Aku membuka novel best seller itu dengan penasaran, ada sebuah tulisan yang mencengangkan, aku baca di sana.
Novel ini terinspirasi, dari seorang wanita yang tak pernah ku raba wajahnya. Wanita yang mengajarkanku untuk mencari cahaya di hatiku hingga aku menemukannya. Wanita yang membuatku tersadar akan potensi yang aku miliki. Dan wanita yang tanpa sadar, telah membuatku melihat dunia luas! Karena karya-karya yang telah ku terbitkan dan mereka mengetahui keadaan fisik ku, aku telah menerima donor mata, dan kini aku bisa melihat. Melihat gambaran indah yang Allah ciptakan. (Kau tau nama panjangku? Ya, Muhammad Rizal Adhi Pratama.)
Segera ku berlari menghampiri pria itu. Bukan, bukan pria. Tapi bocah itu, bocah nakal yang sok dewasa. Aku ingin meminta kejelasan darinya. Ya, Ijal.. Dialah Ijal. Ia tengah berdiri di samping mobil hitamnya. Ia yang tengah tersenyum, memandang lurus ke depan.
“Ijal?” Sapaku lembut.
“Ku kira kau takkan kembali kesini, dan melupakan semuanya!”
Aku terdiam, mengumpulkan keberanian untuk bicara, “ Maafkan aku, bukan maksudku untuk meninggalkanmu begitu saja, tapi…”
“Sudahlah, aku mengerti bahwa bocah sepertiku dulu memang tiada-lah penting bagimu. Tapi terimakasih, karenamu aku mampu menemukan cahaya itu!” Ujarnya seraya membuka pintu mobilnya. Aku tak bisa membiarkannya pergi begitu saja, pergi dengan membawa dugaan buruk tentangku. Aku tak mau. Segera aku menahan pintu mobilnya. Mengungkapkan semuanya.
“Kau tahu? Tiga hari menjelang ujian aku sakit. Aku sakit parah. Ada tumor ada otakku. Saat itu aku menolak untuk dioperasi. Aku mencoba bertahan selama ujian berlangsung. Saat hari terakhir, sakitku semakin menjadi. Namun aku teringat janjiku untuk bertemu denganmu, itu yang membuatku semangat untuk tetap bertahan. Dan saat terakhir, saat semua soal telah ku kerjakan, aku tak sadarkan diri. Ummi bercerita, aku koma selama satu bulan! Rumah dijual untuk membiayai perawatanku di Semarang. Setelah sembuh aku tinggal di rumah Amah Niar dan…”
“Baru sekarang kau bisa kemari?” Lanjutnya.
Aku menangis, “Aku mencarimu, dan setelah mengetahui kau tiada, aku….”
“Cukup Lia.. cukup… Maafkan aku telah berburuk sangka padamu!” Ujarnya lembut. Aku makin tersedu. “Sudahlah jangan menangis, kau terlihat jelek jika begitu!”
“Mengapa kau mengenaliku? Dan mengapa kau masih menungguku?” Ujarku dengan suara sedikt meninggi karena kesal padanya.
“Sejak dulu, aku mengenali suaramu, mengenali getaran itu. Entah apa itu aku tak tahu. Aku masih menunggumu, karena di hatiku yang terdalam aku tahu… bahwa kaulah wanita yang tercipta dari sebagian ruh dan tulang rusukku. Aku masih menunggumu, untuk mengucap Ana ukhibuki fillah ya ukhti… Maukah kau menyempurnakan sebagian dien-Nya dengan ku? Sudikah kamu menerimaku sebagai imam mu, untuk selamanya?”
Saat itu, aku merasakan sesak di dadaku. Bukan karena sakit, tapi karena bahagia. Seperti itukah Allah mempertemukan ku dengan jodoh ku? Mempertemukan ku dengan cara-Nya… cara-Nya yang indah dan tak pernah terduga. Langit senja mulai menghitam, ada selaksa kebahagiaan dalam hatiku saat ini. Aku duduk di dalam mobil Rizal, tentu bersama Abah, Emak, dan Tia. Rupanya mereka ada di dalam mobil saat aku berada di taman senja tadi. Dan akan melamarku secara resmi di depan Abi dan Ummi. Aku akan beristikharah, untuk memantapkan keyakinanku. Dan lagi…. Aku melihat dua orang remaja di sudut jalan, tengah memadu “cinta abu-abu”- nya dengan berangkulan mesra. Ah, andai mereka tau, bahwa bukan seperti itu cara mendapatkan kekasih hati.
Dan seandainya mereka tahu dan mau mencari… bahwa ada cahaya di hatinya, yang akan membimbingnya menuju kebahagiaan sejati. Kebahagiaan dari Sang Pemilik Cinta Abadi… Allah Ya Rabbul Izzaty. Begitulah kata-kata yang tertulis di akhir cerita ADA CAHAYA di HATIMU.                      




(TRIFANY ARLITA_XI IA 1)




Read More ->>

My Blog List

Friendship

Friendship
Sahabat tak obahnya atmosfher Yang melindungi semua makhluk di bumi Dengan meredam sebuah energi besar Menjadi sumber dari segala kehidupan

anime

anime
anime anne gan
Spinning Kunai - Naruto

Pages

noviana savitri. Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

About Me

Foto Saya
Novie alexander
ini saya apa adanya :D
View my complete profile