Senin, 10 September 2012

CAHAYA CINTA UNTUK BUNDA


Senja mulai merekah dalam naungan cakrawala yang mulai menjingga. Nuansa syahadah nampak tercipta mendamaikan jiwa, begitu lantunan merdu tilawah al qur’an bergema dalam ruang tak berbatas. Puluhan burung-burung liar terlihat berbaris rapi menuju kaki langit. Semua nampak bertasbih, mengumandangkan Keesaan Allah yang tak pernah terbanding dengan apa pun.
Di balik tirai merah yang mulai memudar warnanya, Nisa nampak tersenyum memandang jauh ke depan. Menikmati panorama fajar yang menggugah dengan bau basah dan semilir angin pagi yang masih tak lekang oleh waktu.
“Sudah jam berapa ini, Nis? Cepatlah bergegas!”
Terdengar suara tegas wanita paruh baya di balik pintu kamar Nisa.
“Baik, Bunda!” Sahut Nisa seraya beranjak dari tempatnya berdiri. Ia sambar handuk dan segera menuju ke kamar mandi.
Nisa mengayuh sepedanya menuju sekolah tempatnya menuntut ilmu. Jilbabnya yang besar nampak terkibas di mainkan angin yang masih terasa sejuk menerpa kulit. Mata beningnya nampak berkilat terkena bias mentari pagi. Jalanan yang masih nampak sepi, membuatnya leluasa untuk menikmati pemandangan sekitar yang begitu asri.
Setelah memarkir sepedanya di bawah teduh cemara, Nisa segera berjalan menuju mushola sekolah. Sudah menjadi kebiasaan untuk Nisa, melaksanakan shalat duha sebelum jam pelajaran berlangsung. Mushola sekolah masih nampak sepi, terlihat hanya serang pria yang tengah duduk di beranda mushola seraya memandangi buku bacaannya.
Menyadari ada seseorang yang datang mendekat di sekitarnya, pria itu segera mengalihkan pandangan dari buku bacaannya. Kedua mata elangnya saling bertatapan dengan mata Nisa, senyumnya mulai mengembang untuk menyapa. Nisa membalasnya, kemudian kembali menundukan pandangannya.
Dalam sujudnya, Nisa merangkai untaian do’a. Do’a untuk Ibundanya yang sangat ia cintai. Air mata menetes dalam pipi merahnya, memohon kepada Sang Khalik untuk mengijabah do’anya. Do’a-do’a kecil untuk sang Bunda, agar bisa bersama meniti jalan menuju surgaNya.
Matahari bersinar terik siang ini. Nisa lebih memilih untuk beristirahat sejenak di Mushola hingga cuaca cukup teduh. Jarak dari sekolah menuju rumahnya cukup jauh, dan cukup melelahkan jika harus mengayuh sepeda dengan cuaca yang cukup panas membakar kulit.
Merasakan udara yang sungguh panas, hati Nisa kembali meringis. Terlebih ketika bayang Bundanya berkelebat dalam benaknya. Ia sungguh tak tega dengan keadaan Bundanya hingga saat ini. Ia benar-benar ingin melihat perubahan dalam diri Bundanya. Ia ingin melihat cahaya kemuliaan dalam sinar wajah Bundanya sebelum kematian datang menjemputnya. Ia ingin megucapkan kata-kata cinta untuk Bundanya. Namun semua tak kuasa ia lakukan. Keberanian tak sedikitpun muncul dalam rajut hatinya.
“Sedang apa di sini sendiri, Ukh?”
Suara seorang pria menyadarkan Nisa dari lamunannya. Terlihat sosok pria yang ia jumpai tadi pagi tengah duduk tak jauh dari tempatnya beristirahat.
“Sedang menunggu sampai cuaca teduh Akhi,” Jawab Nisa sambil tersenyum renyah.
“Iya. Udara memang sangat panas siang ini. Bagaimana di neraka kelak? Semoga kita tak menjadi bagian dari ahli neraka!”
“Amin!” Sahut Nisa penuh harapan.
Nampak segurat senyum di wajah pria itu. Tak ada kata yang terucap dari mulut mereka masing-masing. Suasana sepi hanya terisi oleh deru kendaraan di jalan raya yang tak jauh dari Mushola.
Tiga orang siswi berparas cantik melewati mereka. Nampak terlihat wajah mereka yang ceria. Rambut mereka tergerai, dengan pakaian seragam mereka yang yang dimini maliskan. Melihat mereka, segera pria itu mengalihkan pandangannya.
“Ukhti sungguh beruntung dengan jilbab yang Ukhti pakai.” Ujar pria itu begitu ketiga siswi tadi telah hilang dari pandangannya.
Nisa tersenyum dengan binar mata bahagia. Sedikit tersisip kebanggaan dalam dirinya.
“Semoga mereka cepat sadar akan kewajibannya menutup aurat. Dan kewajiban-kewajiban lain yang di perintahkan Allah. Terkadang begitu miris melihat tingkah-tingkah mereka. Seorang ahli ibadah saja masih takut tidak mendapat surga-Nya kelak. Tapi mereka seolah ringan tanpa beban,” Ucap pria itu panjang lebar. Memang tersirat keibaan dalam raut wajahnya.
“Semoga mereka cepat mendapat hidayah-Nya.” Jawab Nisa.
Pria itu kembali menganggukan kepalanya, kemudian tersenyum sambil menatap jauh kedepan.
“Saya pamit pulang dulu, Akhi. Assalamualaikum!” Ujar Nisa seraya bangkit dari tempat duduknya.
“Waalaikumsalam!” Sahut pria itu.
Langkah Nisa terhenti, ketika mendengar suara seseorang memanggilnya.
“Siapa nama ukhti?” Tanya pria itu.
“Nisa. Akhi?”
“Hafiz!”
Nisa mengangguk tanda mengerti. Dan berjalan cepat meninggalkan mushola, untuk mengambil sepedanya yang sudah lama menunggu untuk ditunggangi.
Setelah berganti pakaian, segera Nisa menemui Bundanya yang tengah duduk sendiri di depan layar televisi. Nisa duduk di samping Bundanya, sambil menatap-nya dengan mata berkaca-kaca.
“Kamu ini kenapa? Pulang-pulang langsung nempel seperti ini. Ada apa?” Tanya Bundanya.
Nisa tersenyum, hatinya kembali bergemuruh. Ada keinginan dalam hatinya untuk mengatakan sesuatu, tapi ia tak memiliki keberanian untuk menyatakannya. Ada rasa takut dalam hatinya untuk mengatakan apa yang ingin ia katakan, ia masih terdiam.
Terdengar suara adzan menggema dari Mushola dekat rumahnya. Hal itu seperti kekuatan yang di berikan Allah untuk dirinya. Hatinya beretar, ketakutan itu kini bersatu dengan tekad yang membara. Keberanian telah menyatu dalam hatinya.
“Sudah adzan, Bunda. Kita shalat berjama’ah dengan Mas Niko ya? Allah sudah memanggil kita untuk segera beribadah. Itu panggilan sayang Allah untuk kita, Bunda. Bunda mau ya?” Ujar Nisa penuh harap. Jantungnya berdegup kencang menunggu jawaban dari Bundanya.
“Sudahlah. Shalat sendiri, sana.” Ujar Bundanya. Tatapannya kini beralih ke layar televisi kembali.
“Tapi Bunda…”
“Cepatlah! Sana shalat!”
Nisa segera bangkit dan pergi meninggalkan Bundanya. Air mata kembali menetes dari kedua matanya. Ia curahkan semua isi hatinya kepada Rabb-nya. Ia panjatkan do’a-do’a pada-Nya. Mengharapkan segera hidayah untuk Bunda-nya yang ia cintai. Ia tak ingin Bundanya berdiam diri dalam kegelapan, ia ingin melihat Bundanya berada di jalan yang diridhoi-Nya itu sebelum dirinya tiada.
Dan hingga sampai ini, telah terahasiakan dari Bundanya akan penyakit yang selama ini ia derita. Kanker Otak. Sesuatu yang selalu membuat Nisa berada dalam ketakutan. Ia takut, jika suatu saat Bundanya mengetahui penyakitnya. Ia takut tak sempat mengucap kata cinta untuk Bundanya. Bundanya yang memiliki sikap acuh, membuat Nisa tak berani untuk menyatakannya.
Beranjak malam, Nisa kembali menghampiri Bundanya di dalam kamar. Ia berikan senyum manis untuk Bundanya.
“Bunda, kita belajar ngaji ya?” Ujar Nisa pelan.
“Bunda mengantuk!”
“Kalau begitu, kita shalat isya dulu!” Nisa kembali mengajak Bundanya perlahan.
“Sudah dibilang. Bunda ngantuk, Nisa!”
“Hanya tujuh menit Bunda. Nisa yakin setelah itu, pasti Bunda juga tidak akan mengantuk lagi. Kita sama-sama panjatkan do’a untuk kebahagiaan Ayah di akhirat sana!”
Bunda tak menyahuti ajakan putrinya itu. Seolah tak mempedulikannya, ia memunggungi Nisa yang tengah menanti jawaban darinya.
“Baiklah kalau memang Bunda tak mau,”
Dengan langkah gontai Nisa berjalan menuju kamarnya. Dipandanginya sebuah pigura di atas meja belajarnya. Ia begitu rindu ayah. Karena pada saat-saat seperti inilah, hanya ayah lah yang sanggup membujuk Bundanya. Perlahan, pipinya kembali dibasahi oleh air mata.
“Ya Rabb… Jika memang usia hamba singkat, maka izinkanlah hamba-Mu ini untuk melihat perubahan dalam diri Bunda. Berikanlah Ia hidayah-Mu Ya Allah. Karena hamba mencintainya, hamba menyayanginya!”
Nisa bersujud dalam tangisnya, nafasnya yang tak teratur bercampur dengan isak tangisnya.
Menjelang fajar Nisa beranjak menemui Bundanya di dalam kamar. Dengan sedikit rasa takut, perlahan ia buka pintu kamar Bundanya. Namun ia tak menemui seseorang pun di sana.
“Bunda!”
Nisa memanggil-manggil Bundanya. Ia arahkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Namun yang ia cari taka ada di sana. Kehawatiran mulai menggelayuti hatinya. Matanya sudah mulai memerah menahan tangis. Ia takut Bundanya pergi karena kejadian tadi malam. Ia takut Bundanya terluka dengan ucapannya semalam.
Namun kelegaan kembali tersisip dalam hatinya, begitu melihat bayang seorang wanita yang tengah duduk sendiri di kursi taman. Temaram lampu taman menerangi raganya yang kian sayu. Nisa hanya memperhatikan Bundanya dari jauh, ia takut akan membuat Bundanya merasa terganggu.
“Sedang apa, Nis?”
Niko datang menghampiri adiknya itu. Mencari tahu apa yang tengah di lakukan Nisa.
“Bunda sedang apa, Mas?” Tanya Nisa penasaran.
Niko mengangkat bahunya, “Entahlah, Mas sendiri tak tahu,”
“Mas, sampai kapan Bunda akan terus seperti ini? Nisa ingin Bunda cepat berubah”
“Sabar, Nis. Semua ada jalan keluarnya, dan semua akan indah pada waktunya. Kita hanya bisa berusaha untuk menyadarkannya, selebihnya kita serahkan semua kepada Allah, Nis!”
Nisa menganggukan kepalanya, “Mas benar!”
“Sudahlah. Sekarang cepat siap-siap sekolah. Nanti Mas antar, kamu tak perlu menggunakan sepeda. Cuaca sekarang sedang tak menentu!”
“Baik!” Ujar Nisa sembari berjalan menuju kamar mandi.
Setelah selesai merapikan jilbabnya dan membersekan buku-buku dari dalam tasnya, segera ia mencari Bundanya untuk meminta do’a restu pagi ini. Sementara Mas Niko sudah menunggui Nisa di atas jok motornya.
“Bunda, Nisa pamit dulu!” Ujar Nisa pelan.
“Ya!” Jawab Bundanya yang sama sekali tak menatap wajah putrinya itu.
Nisa masih tak beranjak dari tempatnya, ia menatap Bundanya dengan penuh kengiluan.
“Bunda, apa Bunda marah dengan Nisa?”
Tak terdengar jawaban dari Bundanya. Hati Nisa semakin galau di buatnya.
“Bunda. Nisa minta maaf, kalau memang Nisa sudah membuat Bunda kecewa!”
Bundanya masih tetapsibuk dengan pekerjaannya, ia tak memperhatikan Nisa yang kini mulai berurai air mata.
“Bunda, ada apa? Jawab, Bunda!! Apa yang menyebabkan Bunda tak mau berbicara dengan Nisa? Tak lagi memperhatikan kami, Bunda? Apa salah kami?” Suara Nisa semakin meninggi berbaur dengan isak tangis.
Mendengar ada keributan di dalam, Niko segera turun dari motornya dan berlari masuk ke dalam rumahnya. Terlihat Nisa yang tengah menangis bersimpuh di kaki Bundanya. Niko segera memapah Nisa untuk kembali berdiri.
“Sudah siang, Nis. Cepat kita ke sekolah. Mungkin Bunda sedang ingin sendiri saat ini!” Ujar Niko seraya menggandeng adiknya ke luar rumah.
Di jalan, Nisa tak berhenti meneteskan air mata. Ia sungguh tak mengerti apa yang ada di pikiran Bundanya saat ini. Semenjak kepergian ayah, Bunda benar-benar berubah. Kini Bunda tak pernah melakukan ibadah, Bunda pun jarang mempedulikan putra-putrinya.
Mas Niko menepi di depan gerbang sekolah yang sudah mulai ramai oleh lalu-alang para siswa. Mas Niko menatap adiknya itu lembut, di usapnya air mata Nisa dengan penuh sayang.
“Sudah jangan bersedih. Mas yakin, Bunda sebenarnya tak ingin bersikap seperti itu. Mas yakin ada sesuatu di balik semua itu. Bersabarlah!”
Nisa menyeka air matanya, berusaha untuk kembali tegar. Ia ukirkan senyum manis di bibir tipisnya.
“Iya, Mas!” Ujar Nisa seraya mengecup punggung tangan Niko dan berlalu pergi.
Sikap Bundanya tadi pagi, masih begitu membekas dalam hati Nisa. Ia tidak sakit hati karenanya, tapi ia hanya takut melukai perasaan Bundanya. Ia takut Bundanya akan seumur hidup membencinya. Ia sungguh ingin kebersamaan seperti dulu. Begitu hangat dengan kasih sayang, dan cinta illahi.
Di Mushola, Nisa curahkan semua rasa yang bergelayut dalam hati. Ia tumpahkan air mata dalam tiap sujudnya. Ia tak sanggup menahan kesedihan dalam hatinnya. Dan tangisnya semakin bertambah, ketika darah mengalir dari hidungnya. Kepalanya semakin terasa sakit, tubuhnya semakin lemah, dan akhirnya Nisa terjatuh.
“Ukhti!” Seru Hafiz begitu melihat Nisa terjatuh.
Segera Hafiz memanggil beberapa temannya untuk segera menghubungi salah seorang guru, dan menelfon Rumah Sakit. Wajah Nisa yang begitu pucat semakin membuat teman-temannya khawatir.
Di dalam ruangan serba putih itu, Nisa terbaring lemah. Matanya masih terpejam, tak sadarkan diri. Hafiz masih menungguinya dengan cemas. Mas Niko dan Bundanya tengah di hubungi pihak Rumah Sakit, memberitahukan keadaan Nisa.
“Sesungguhnya, dia menderita apa Dok?” Tanya Hafiz. Nada suaranya menyimpan kekhawatiran yang mendalam.
“Kanker Otak!”
“Kanker Otak?” Hafiz tak percaya. Ia pandangi tubuh lemah Nisa dengan penuh iba dan kasih sayang.
Mas Niko dan Bunda telah tiba di rumah sakit. Nampak kekhawatiran yang mendalam di wajah mereka, terlebih Bunda. Tak hentinya Bunda menitikka air mata di sepanjang jalannya.
“Nisa!!”
Bunda berlari menghampiri pembaringan putri kecilnya itu. Ia menangis, memeluk Nisa.
“Maafkan Bunda, Nisa. Bunda telah salah!”
Nisa tak menjawabnya, ia hanya terdiam dengan mata yang terpejam. Hafiz yang melihat kejadian itu menjadi ikut larut dalam kesedihan. Mas Niko hanya bisa menenagkan Bunda dengan pelukannya.
“Nisa…bangun, sayang!” Suara Bunda berbaur dengan isak tangis.
Jemari Nisa nampak tergerak, matanya perlahan mulai membuka. Dengan pandangannya yang masih kabur, ia temukan sosok Bunda di sampingnya dengan penuh air mata.
“Bunda…”
Bunda menyeka air matanya, ia tersenyum melihat putrinya yang mulai tersadar.
“Maafkan Bunda, sayang. Bunda telah salah menyikapi kalian. Bunda telah mengacuhkan kalian. Maafkan Bunda, atas sikap Bunda selama ini. Kini Bunda sadar, akan semua kesalahan Bunda.” Ujar Bunda sambil berlinang air mata.
Nisa tersenyum, perlahan ia usap air mata Bundanya dengan penuh kebahagiaan.
“Bunda. Bunda tak perlu meminta maaf, karena Nisa sudah memaafkan semuanya.”
“Kini Bunda sadar, bahwa sikap Bunda sangat menyakiti kalian. Menjadikan beban di pikiran kalian. Bunda pikir, dengan megacuhkan kalian Bunda akan sanggup melupakan bayang ayah. Tapi ternyata tidak. Justru semakin hari, sikap kalian yang memperhatikan Bunda, kalian yang memperingati Bunda untuk mengingat Allah, justru membuat Bunda semakin teringat Ayah. Kini, Bunda tak ingin lagi kehilangan seseorang yang sangat berarti seperti kamu, dan Mas Niko!”
Niko menangis di pelukkan Bunda, begitu juga dengan Nisa. Hafiz ikut menitikkan air mata melihat kejadian yang ada di hadapannya itu.
“Nisa tak ingin kehilangan Bunda! Bunda harus tetap tersenyum, Bunda harus tetap bahagia!” Ujar Nisa dengan suaranya yang melemah. “Mas Niko, jaga Bunda selalu. Jangan sakiti Bunda!”
Nisa memandang kearah Hafiz yang tengah duduk di sudut ruangan. “Mas Hafiz, terimakasih untuk semuanya. Nisa juga menyayangi Mas Hafiz, seperti Nisa menyayangi kakak sendiri…”
Pandangan Nisa mengabur. Terdengar suara lirih dari mulutnya, menyebut Asma Allah dengan lembut, seiring dengan matanya yang terpejam. Bunda dan Niko menangis melepas kepergian Nisa ke pangkuan Illahi. Mereka memeluk tubuh Nisa yang tak lagi bernyawa.
Sementara Hafiz hanya bisa menangis dalam diam, dengan tangan bergetar ia remas dadanya yang serasa sesak menahan tangis. Perlahan ia menghampiri ranjang Nisa dan menatapnya untuk yang terakhir kalinya. “Aku mencintaimu karena Allah” Ucap Hafiz dalam hati. Ketika itu air mata mulai terjatuh dari kelopak matanya.
Dalam temaram lampu taman, Bunda duduk ditemani dengan Niko. Mereka menatap jauh ke langit luas. Mereka menatap jutaan bintang yang berpendar di angkasa kelabu. Membiarkan bayang Nisa dan Ayah, yang menari-nari di balik pijar sang bintang.
“Telah lama Nisa simpan hadiah ini untuk Bunda. Dan kini, saatnya Bunda untuk menerimanya”
Niko memberikan sebuah kado berbentuk hati untuk Bundanya. Bunda membukanya perlahan. Terlihat sebuah mukenah, musshaf dan jilbab di dalamnya. Bunda kembali menitikkan air mata, ia tak menyangka putrinya begitu berharap akan perubahan dalam dirinya. Sepucuk surat terselip dalam mushaf kecil, Bunda mengambilnya dan membacanya perlahan.
Bunda…
Semua ini Nisa persembahkan untuk Bunda
Sebuah kado istimewa berbingkai kasih sayang, untuk Bunda…
Bunda…
Terkadang, tangis Nisa tercurah dalam diam…
Berbaur menjadi satu dalam keinginan yang terpendam
Harapan Nisa adalah bisa bersama dengan Bunda dan Mas Niko
Untuk bersama meniti jalan menuju surga…
Maaf  jika Nisa terus mengganggu Bunda dengan ajakan-ajakan Nisa
Tapi Nisa lakukan itu karena satu…
Karena Nisa sayang Bunda… Karena Nisa cinta Bunda…
Bunda, Bunda, dan Bunda… adalah orang yang selalu Nisa sayang…
Orang yang selalu Nisa cintai…
Bunda kembali menitikkan air matanya, ia rengkuh surat itu dalam dekapannya.
Adzan subuh mulai menggema dalam ruang tak berbatas, bau basah akibat hujan dini hari tadi merayap masuk melalu celah jendela yang terbuka. Bunda menghampiri Niko yang masih tertidur dalam ranjangnya.
“Sudah subuh.. bangun Niko!” Bunda memebelai kepala Niko dengan kasih sayang.
Niko membuka matanya, senyum terukir di wajahya yang masih nampak kucal.
“Ayo cepat! Nanti kita ketinggalan untuk berjama’ah!” Ujar Bunda seraya menyodorkan sarung dan peci untuk Niko.
“Iya, Bunda. Niko ambil air wudhu dulu!” Jawab Niko. Kini senyumnya semakin mengembang.
Setelah shalat berjama’ah, Bunda dan Niko duduk di beranda rumah. Mereka menatap mentari yang perlahan mulai melukiskan guratan fajar di langit yang mulai membiru.
“Bunda. Niko ingin mengatakan ini, selagi Allah masih memberikan kesempatan Niko untuk hidup di dunia ini. Niko ingin katakan, bahwa Niko cinta Bunda, Niko sayang Bunda, Niko tak ingin kehilangan Bunda!”
Bunda tersenyum, menatap putranya penuh cinta. “Bunda juga cinta Niko, Bunda sayang Niko!”
Keduanya berpelukan erat, cahaya matahari nampak bersinar menerangi kebersamaan mereka.
“Ajari Bunda mengaji Niko!” Ujar Bunda seraya melepas pelukannya.
Niko menggangguk pasti. Ia ikuti langkah Bundanya dengan penuh semangat. Langkahnya sempat terhenti begitu melihat potret Nisa di tembok rumahnya, Niko memandanginya dengan mata berkaca-kaca.
“Terimakasih adikku, karena kau tularkan cinta itu padaku. Kau salurkan kekuatan cinta padaku. Dan lewat dirimu Allah berikan hidayah untuk Bunda kita. Dan karena mu keberanian itu muncul, untuk menyatakan cinta pada Bunda. Semangat mu akan terus berkobar dalam jiwaku! Cinta mu adalah cahaya bagi Bunda!” Batin Niko dalam hati.

0 komentar:

Posting Komentar

My Blog List

Friendship

Friendship
Sahabat tak obahnya atmosfher Yang melindungi semua makhluk di bumi Dengan meredam sebuah energi besar Menjadi sumber dari segala kehidupan

anime

anime
anime anne gan
Spinning Kunai - Naruto

Pages

noviana savitri. Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

About Me

Foto Saya
Novie alexander
ini saya apa adanya :D
View my complete profile